Rabu, 12 September 2018

Larangan Bertaqlid atau Ta’ashub (Fanatik) Terhadap Madzhab Tertentu

Kita dilarang fanatik terhadap suatu pendapat secara berlebihan tanpa melakukan pembahasan ilmiah, karena yang demikian ini haram hukumnya dalam pandangan syari’at. Bahkan fanatik/ taqlid adalah merupakan prinsip orang-orang kafir sejak zaman dahulu, yang dengan prinsip inilah mereka menolak kebenaran agama yang dibawa oleh Rasulullah .

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah, hidup tahun 1115 H/1703 M– 1206 H/1792 H berkata:

إنَّ دِيْنَهُمْ مَبْنِيٌّ عَلى أُصولٍ : أَعْظَمَهَا التَّقْلِيْدُ ، فَهُوَ القَاعِدَةُ الكُبْرَى لِجَمِيْعِ الكُفَّارِ ، أَوَّلِهِمْ وَ آخِرِهِم

“Sesungguhnya agama orang-orang jahiliyah dibangun diatas beberapa prinsip. Prinsip yang paling besar adalah taqlid. Maka taqlid itu adalah qa’idah yang paling besar bagi semua orang kafir, sejak generasi awal dan akhirnya.” (Lihat Masa’il Jahiliyah karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab pada masalah yang keempat).
 
Allah berfirman tentang mereka (Orang-orang jahiliyah):

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَا وَجَدۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ يَدۡعُوهُمۡ إِلَىٰ عَذَابِ ٱلسَّعِيرِ

“Dan jika dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang diturunkan Allah. Mereka menjawab: (Tidak) tetapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak- bapak kami mengerjakannya.” (QS. Lukman: 21)

Begitulah ketika mereka mengukuhkan sikap keras dan penentangan mereka terhadap syari’at Allah, dengan beralasan karena mereka mencukupkan diri dengan mengikuti peninggalan leluhur/ bapak moyang mereka. Kemudian alasan mereka ini tidak dapat dibenarkan dalam pandangan syari’at maka Allah membantahnya dan menganggapnya sebagai alasan yang bathil.

Allah berfirman:

وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا

“Dan tidak pantas bagi laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan yang lain bagi mereka tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36)

Allah berfirman:
                                                                          
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسۡ‍ُٔولٗا

“Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggung-jawabannya. (QS. Al- Isra: 36)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah hidup tahun 661- 728 H, berkata:

إنَّ التّقْلِيْدَ بِمَنْزِلَةِ أكلِ الْمَيْتَةِ فَإِذَا اسْتَطَاعَ أنْ يَسْتَخْرِجَ الدَّلِيْلَ بِنَفْسِهِ فَلاَ يَحِلّ لَهُ التَّقْلِيْد

“Seseorang yang bertaqlid itu posisinya sama dengan orang yang memakan bangkai, maka jika dia sanggup untuk mencari dalil maka tidak halal bagi dia untuk melakukan taqlid.” (Lihat Syarhul Mumti’ karya Syaikh Ibnu Utsaimin, Dar Ibnul Haistam Jilid 1 halaman 15).

Rasulullah bersabda:  

تَرَكْتُ فِيْكُم أمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا ما تَمَسَّكْتُمْ بِهِما : كِتَابَ اللهِ و سُّنَّةَ رَّسُولِهِ

“Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka kalian tidak akan sesat selamanya, yakni kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.” (HR. Al-hakim dalam Mustadraknya dan dishohihkan oleh syaikh Al-Albani dan Misykatul Mashobih)

Imam Ahmad rahimahullah hidup tahun 164– 241 H, berkata:

عَجِبْتُ لِقَومٍ عَرَفُوا الإسْنَادَ و صِحَّتَهُ يَذْهَبُونَ لِرَأْيِ سُفْيَانَ (اي: سفيان الثوري)

“Aku merasa heran dengan suatu kaum yang mereka mengetahui ilmu sanad dan keshohihannya namun mereka tetap bertaqlid kepada pendapat Sufyan Ats-Tsauri.” (Lihat Al-Qaulul Sadid Syarh Kitab Tauhid karya Syaikh Abdurrahman bin Nasir As-Sa’di, cetakan kedua tahun 1430 H/ 2009 M Dar Al- Qabs halaman 223).

Berkata Asy-Syaikh Sholih bin Fauzan:

فَلا يَجُوزُ أَخْذُ قَولِ الفَقِيْهِ مَهْما بَلَغَ مِنْ الفِقْهِ  و العِلْمِ إلاّ إذا كانَ مَبْنِيًّا على دَلِيْلٍ صَحِيْحٍ ، أمّا إذا كَان مُخَالِفًا لِلدَّلِيْلِ فَلاَ يُؤْخَذْ بِهِ

“Dengan demikian maka tidak boleh mengambil ucapan seseorang secara ekstrim bagaimana pun kedalaman ilmu fiqihnya kecuali apabila pendapatnya tersebut dibangun diatas dasar hukum yang shohih, adapun jika pendapat itu menyelisihi dalil-dalil yang shohih maka tidak boleh diambil.” (Lihat Syarh Al- Manzhumah Al- Ha’iyah Fi Aqidati Ahli Sunnati wal Jama’ah karya syaikh Sholih bin Fauzan halaman 63, Darul Atsariyah cetakan pertama tahun 1432 H/ 2011 M).

كانَ ابنُ عُمر إذَا سَمِعَ مِنَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و سلّم حَدِيِثًا لَمْ يًعْدُهُ و لم يُقَصِّرْ دُونَهُ

“Adalah Ibnu Umar apabila mendengar suatu hadits dari Rasulullah, beliau tidak menambah dan menguranginya sedikitpun.” (Lihat Sunan Ibnu Majah no. 4)


--------
UCAPAN PARA IMAM MADZHAB TERHADAP HARAMNYA BERTAQLID (FANATIK)
---------

        Pertama, Imam Abu Hanifah rahimahullah, beliau berkata:
إذا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُو مَذْهَبِي

“Apabila suatu hadits itu shohih maka    itulah madzhabku.”

لا يَحِلُّ لأحَدٍ أنْ يَأْخُذَ بِقَولِنَا ما لَمْ يَعْلَمْ مِنْ أَيْنَ أخَذْنَاهُ

“Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil pendapat kami  selama dia belum tahu dari mana kami mengambil pendapat tersebut.”

حَرَامٌ عَلى مَنْ لَمْ يَعْرِفْ دَلِيْلِي أَنْ يَفْتِيَ بِكَلَامِيْ
       
“Haram bagi seseorang yang tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan pendapatku”.



        Kedua, Imam Malik bin Anas rahimahullah, beliau berkata:

إنَّما أنا بَشَرٌ أُخْتِئُ و أُصِيْبُ فَا نْظُرُوا فِي رَأْيِي ، فَكُلُّ ما وَافَقَ الْكِتَابَ و السُّنَّةَ فَخُذُوهُ ، و كُلُّ ما لَمْ يُوَافِقِ الْكِتَابَ و السُّنَّةَ فَاتْرُكُوهُ

“Saya ini hanyalah manusia biasa, bisa salah dan bisa pula benar, maka telitilah pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ambillah pendapat tersebut. Dan setiap pendapatku yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka tinggalkanlah pendapat tersebut.”

ليس بعد النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلّم إلاّ يُؤْخَذُ من قَولِهِ و يُتْرَكُ إلاّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم

“Tidak ada seorangpun sepeninggal Nabi , kecuali pendapatnya bisa diambil dan bisa pula ditolak, kecuali Nabi .” 


        Ketiga, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah beliau berkata:

أجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ أنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُول الله صلى الله عليه و سلّم لَمْ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لَقَولِ أَحَدٍ

“Kaum muslimin telah bersepakat bahwa barang siapa yang mengetahui dengan jelas suatu sunnah  dari Rasulullah, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena mengikuti pendapat seseorang.”
إذا وجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رسول الله صلى الله عليه وسلّم ، فَقُولُوا بِسُنَّةِ رسول الله صلى الله عليه و سلّم وَدَعُوا ما قُلْتُ

“Apabila engkau mendapatkan dalam kitabku ini suatu hal yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka berpendapatlah dengan pendapat yang sesuai dengan sunnah Rasulullah dan tinggalkanlah pendapatku.”


        Keempat, Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah beliau berkata:

لا تُقَلِّدْنِي و لا تُقَلِّدْ مالِكًا و لا الشَافِعِيَّ  و لا الأوزَاعِيَّ و لا الثَّوْرِيَّ ، وَ خُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوا

“Janganlah kalian bertaqlid kepadaku dan jangan pula bertaqlid kepada Malik, Asy- Syafi’i,  Al-Auza’i, Ats- Tsauri, dan ambillah dari mana mereka mengambil.”

مَنْ رَدَّ حديثَ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلّم فهو على شَفا هَلَكَةٍ

“Barang siapa yang menolak hadits Rasulullah maka dia berada pada jurang kebinasaan.” (Lihat ucapan-ucapan mereka dalam muqaddimah sifat sholat Nabi karya syaikh Al-Albani dan Syarh Masa’il Jahiliyah karya syaikh Sholih bin Fauzan pada permasalahan taqlid buta).

Wallahu Waliyut Taufiq

Penulis: Al-Ustadz Junaid Ibrahim Iha Hafizhahullah


Disadur dari: Buku “Ambillah Agamamu dari Sumber Yang Jernih, penulis Al-Ustadz Junaid Ibrahim Iha, penerbit MDHJayapura.


2 komentar: