Kita dilarang fanatik terhadap suatu pendapat
secara berlebihan tanpa melakukan pembahasan ilmiah, karena yang demikian ini
haram hukumnya dalam pandangan syari’at. Bahkan fanatik/ taqlid adalah merupakan prinsip orang-orang kafir sejak zaman
dahulu, yang dengan prinsip inilah mereka menolak kebenaran agama yang dibawa
oleh Rasulullah ﷺ.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah,
hidup tahun 1115 H/1703 M– 1206 H/1792 H berkata:
إنَّ
دِيْنَهُمْ مَبْنِيٌّ عَلى أُصولٍ : أَعْظَمَهَا التَّقْلِيْدُ ، فَهُوَ
القَاعِدَةُ الكُبْرَى لِجَمِيْعِ الكُفَّارِ ، أَوَّلِهِمْ وَ آخِرِهِم
“Sesungguhnya agama orang-orang jahiliyah
dibangun diatas beberapa prinsip. Prinsip yang paling besar adalah taqlid. Maka
taqlid itu adalah qa’idah yang paling besar bagi semua orang kafir, sejak
generasi awal dan akhirnya.” (Lihat Masa’il Jahiliyah karya Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab pada masalah yang keempat).
Allah ﷻ berfirman tentang mereka (Orang-orang jahiliyah):
وَإِذَا
قِيلَ لَهُمُ ٱتَّبِعُواْ مَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ قَالُواْ بَلۡ نَتَّبِعُ مَا
وَجَدۡنَا عَلَيۡهِ ءَابَآءَنَآۚ أَوَلَوۡ كَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ يَدۡعُوهُمۡ
إِلَىٰ عَذَابِ ٱلسَّعِيرِ
“Dan jika
dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang
diturunkan Allah.” Mereka menjawab: ‘(Tidak) tetapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami
dapati bapak- bapak kami mengerjakannya.”
(QS. Lukman: 21)
Begitulah ketika
mereka mengukuhkan sikap keras dan penentangan mereka terhadap syari’at Allah, dengan
beralasan karena mereka mencukupkan diri dengan mengikuti peninggalan leluhur/
bapak moyang mereka. Kemudian alasan mereka ini tidak dapat dibenarkan dalam
pandangan syari’at maka Allah membantahnya dan menganggapnya sebagai alasan
yang bathil.
Allah ﷻ berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤۡمِنٖ وَلَا
مُؤۡمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمۡرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ
ٱلۡخِيَرَةُ مِنۡ أَمۡرِهِمۡۗ وَمَن يَعۡصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدۡ ضَلَّ
ضَلَٰلٗا مُّبِينٗا
“Dan tidak pantas bagi
laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
pilihan yang lain bagi mereka tentang urusan mereka.” (QS. Al-Ahzab: 36)
Allah ﷻ berfirman:
وَلَا
تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ
كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسُۡٔولٗا
“Dan janganlah kamu
mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena
pendengaran, penglihatan, dan hati nurani, semua itu akan diminta
pertanggung-jawabannya.” (QS. Al- Isra: 36)
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah rahimahullah hidup tahun 661- 728 H, berkata:
إنَّ التّقْلِيْدَ بِمَنْزِلَةِ أكلِ الْمَيْتَةِ فَإِذَا
اسْتَطَاعَ أنْ يَسْتَخْرِجَ الدَّلِيْلَ بِنَفْسِهِ فَلاَ يَحِلّ لَهُ
التَّقْلِيْد
“Seseorang yang
bertaqlid itu posisinya sama dengan orang yang memakan bangkai, maka jika dia
sanggup untuk mencari dalil maka tidak halal bagi dia untuk melakukan taqlid.” (Lihat Syarhul Mumti’ karya Syaikh Ibnu Utsaimin, Dar Ibnul Haistam Jilid 1 halaman 15).
Rasulullah ﷺ bersabda:
تَرَكْتُ فِيْكُم أمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا ما تَمَسَّكْتُمْ بِهِما
: كِتَابَ اللهِ و سُّنَّةَ رَّسُولِهِ
“Aku tinggalkan
kepada kalian dua perkara yang jika kalian berpegang teguh dengannya maka
kalian tidak akan sesat selamanya, yakni kitabullah dan sunnah Rasul-Nya.” (HR.
Al-hakim dalam Mustadraknya dan dishohihkan oleh syaikh Al-Albani dan Misykatul
Mashobih)
Imam Ahmad rahimahullah hidup tahun 164– 241 H, berkata:
عَجِبْتُ لِقَومٍ عَرَفُوا الإسْنَادَ و صِحَّتَهُ يَذْهَبُونَ
لِرَأْيِ سُفْيَانَ (اي: سفيان الثوري)
“Aku merasa heran dengan
suatu kaum yang mereka mengetahui ilmu sanad dan keshohihannya namun mereka
tetap bertaqlid kepada pendapat Sufyan Ats-Tsauri.” (Lihat Al-Qaulul Sadid Syarh Kitab Tauhid karya Syaikh Abdurrahman
bin Nasir As-Sa’di, cetakan kedua tahun 1430 H/ 2009 M Dar Al- Qabs halaman
223).
Berkata Asy-Syaikh Sholih bin Fauzan:
فَلا يَجُوزُ أَخْذُ قَولِ الفَقِيْهِ مَهْما بَلَغَ مِنْ الفِقْهِ و العِلْمِ إلاّ إذا كانَ مَبْنِيًّا على
دَلِيْلٍ صَحِيْحٍ ، أمّا إذا كَان مُخَالِفًا لِلدَّلِيْلِ فَلاَ يُؤْخَذْ بِهِ
“Dengan demikian maka tidak boleh mengambil ucapan seseorang secara ekstrim
bagaimana pun kedalaman ilmu fiqihnya kecuali apabila pendapatnya tersebut
dibangun diatas dasar hukum yang shohih, adapun jika pendapat itu menyelisihi
dalil-dalil yang shohih maka tidak boleh diambil.” (Lihat Syarh Al-
Manzhumah Al- Ha’iyah Fi Aqidati Ahli Sunnati wal Jama’ah karya syaikh Sholih
bin Fauzan halaman 63, Darul Atsariyah cetakan pertama tahun 1432 H/ 2011 M).
كانَ ابنُ عُمر إذَا سَمِعَ مِنَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه و
سلّم حَدِيِثًا لَمْ يًعْدُهُ و لم يُقَصِّرْ دُونَهُ
“Adalah Ibnu Umar
apabila mendengar suatu hadits dari Rasulullah, beliau tidak menambah dan
menguranginya sedikitpun.” (Lihat Sunan Ibnu Majah no. 4)
--------
UCAPAN PARA IMAM
MADZHAB TERHADAP HARAMNYA BERTAQLID (FANATIK)
---------
Pertama, Imam Abu Hanifah rahimahullah, beliau berkata:
إذا صَحَّ
الْحَدِيْثُ فَهُو مَذْهَبِي
“Apabila suatu hadits itu shohih maka itulah madzhabku.”
لا يَحِلُّ لأحَدٍ أنْ يَأْخُذَ بِقَولِنَا ما لَمْ يَعْلَمْ مِنْ
أَيْنَ أخَذْنَاهُ
“Tidak halal bagi seseorang untuk mengambil
pendapat kami selama dia belum tahu dari
mana kami mengambil pendapat tersebut.”
حَرَامٌ عَلى مَنْ لَمْ يَعْرِفْ دَلِيْلِي أَنْ يَفْتِيَ بِكَلَامِيْ
“Haram bagi seseorang yang
tidak mengetahui dalilku untuk berfatwa dengan pendapatku”.
Kedua, Imam Malik bin Anas rahimahullah, beliau berkata:
إنَّما أنا بَشَرٌ أُخْتِئُ و أُصِيْبُ فَا نْظُرُوا فِي رَأْيِي ،
فَكُلُّ ما وَافَقَ الْكِتَابَ و السُّنَّةَ فَخُذُوهُ ، و كُلُّ ما لَمْ
يُوَافِقِ الْكِتَابَ و السُّنَّةَ فَاتْرُكُوهُ
“Saya ini hanyalah
manusia biasa, bisa salah dan bisa pula benar, maka telitilah
pendapatku. Setiap pendapatku yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ambillah pendapat tersebut. Dan setiap pendapatku yang
bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka tinggalkanlah
pendapat tersebut.”
ليس بعد النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلّم إلاّ يُؤْخَذُ من قَولِهِ
و يُتْرَكُ إلاّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم
“Tidak ada seorangpun
sepeninggal Nabi ﷺ,
kecuali pendapatnya bisa diambil dan bisa pula ditolak, kecuali Nabi ﷺ.”
Ketiga, Imam Asy-Syafi’i rahimahullah beliau berkata:
أجْمَعَ الْمُسْلِمُونَ أنَّ مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ
رَسُول الله صلى الله عليه و سلّم لَمْ يَحِلُّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لَقَولِ
أَحَدٍ
“Kaum muslimin telah
bersepakat bahwa barang siapa yang mengetahui dengan jelas suatu sunnah dari Rasulullah, maka tidak halal baginya
untuk meninggalkan sunnah tersebut karena mengikuti pendapat seseorang.”
إذا وجَدْتُمْ فِي كِتَابِي خِلاَفَ سُنَّةِ رسول الله صلى الله
عليه وسلّم ، فَقُولُوا بِسُنَّةِ رسول الله صلى الله عليه و سلّم وَدَعُوا ما
قُلْتُ
“Apabila engkau mendapatkan
dalam kitabku ini suatu hal yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah, maka berpendapatlah dengan pendapat yang sesuai dengan sunnah
Rasulullah dan tinggalkanlah pendapatku.”
Keempat, Imam Ahmad bin
Hambal rahimahullah beliau berkata:
لا
تُقَلِّدْنِي و لا تُقَلِّدْ مالِكًا و لا الشَافِعِيَّ و لا الأوزَاعِيَّ و لا الثَّوْرِيَّ ، وَ خُذْ
مِنْ حَيْثُ أَخَذُوا
“Janganlah kalian
bertaqlid kepadaku dan jangan pula bertaqlid kepada Malik, Asy- Syafi’i, Al-Auza’i, Ats- Tsauri, dan ambillah dari mana mereka mengambil.”
مَنْ رَدَّ حديثَ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلّم فهو على شَفا
هَلَكَةٍ
“Barang siapa yang
menolak hadits Rasulullah maka dia berada pada jurang kebinasaan.” (Lihat ucapan-ucapan mereka dalam muqaddimah sifat sholat Nabi karya
syaikh Al-Albani dan Syarh Masa’il Jahiliyah karya syaikh Sholih bin Fauzan
pada permasalahan taqlid buta).
Wallahu Waliyut Taufiq
Penulis: Al-Ustadz Junaid Ibrahim Iha Hafizhahullah
Disadur dari: Buku “Ambillah Agamamu dari Sumber Yang Jernih, penulis
Al-Ustadz Junaid Ibrahim Iha, penerbit MDHJayapura.
Izin Share ...
BalasHapusTafaddhol..
BalasHapus