Rabu, 26 September 2018

Edisi Fiqih: Berturut-turut Dalam Membasuh Anggota Wudhu


Pada kajian kali ini kita akan membahas suatu permasalahan yang diikhtilafkan oleh para ulama sejak dahulu sampai sekarang, yakni permasalahan apakah sambung- menyambung atau berturut- turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu adalah merupakan syarat sahnya wudhu?!

Sebelum kajian ini kita uraikan maka perlu kiranya kita memahami bahwa meratakan air ke seluruh anggota wudhu adalah merupakan syarat sahnya wudhu, artinya apabila ada salah satu anggota wudhu yang tidak basah dengan air wudhu maka wudhu tersebut dianggap tidak sah.

Kemudian yang menjadi permasalahan adalah bagaimana jika wudhu itu terputus dan menjelang beberapa saat kemudian disambung lagi.

Contoh:
Seseorang yang sedang berwudhu namun tiba-tiba dia menghentikan wudhunya di pertengahan, apakah pada wajahnya atau kedua lengannya atau kakinya maupun anggota wudhu yang lain. Nah, ketika dia akan menyempurnakan wudhunya, apakah boleh baginya  hanya sekedar menyambung atau membasuh anggota wudhu yang belum dibasuh, atau dia harus mengulang dari awal wudhunya?

Perhatikanlah!
Pada kasus yang semisal dengan contoh diatas, para ulama berselisih pendapat. Bagi mereka yang mengatakan berturut-turut merupakan syarat sahnya wudhu, mereka mewajibkan untuk mengulangi wudhu dari awal. Adapun bagi para ulama yang tidak mensyaratkan hal ini mereka berpendapat bahwa cukup bagi orang tersebut untuk melanjutkan membasuh anggota yang belum dibasuh saja. Untuk lebih jelasnya berikut ini uraian permasalahannya –biidznillah- :

Ibnu Rusyd berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang berturut-turut dalam amalan wudhu.” Malik berpendapat:

فَذَهَبَ مالك إِلَى أنَّ الْمُوَالَاةَ فَرْضٌ مَعَ الذِّكْرِ وَ مَعَ الْقُدْرَةِ سَاقِطَة مَعَ النِّسْيَانِ وَ مَعَ الذِّكْرِ عِنْدَ الْعُذْرِ مَا لَمْ يَتَفَاخَشِ التَّفَاوُت

“Berturut-turut adalah fardhu hukumnya jika ingat dan sanggup menunaikan-nya. Kewajiban tersebut gugur jika lupa atau ingat akan tetapi tidak sanggup menunaikannya dengan syarat tidak terlalu lama masa jedahnya.”

Imam Syafi'i dan Abu Hanifah berpendapat:

وَ ذَهَبَ الشافِعِي و أَبُو حَنِيْفَة ِلَى أنَّ الْمُوَالَاةَ لَيْسَتْ مِنْ واجِبَاتِ الْوُضُوْءِ

“Berturut-turut tidak termasuk kewajiban dalam berwudhu.” (Lihat Bidayatul Mujtahid jilid 1, hal 54. Maktabah ibnu Taimiyah al- Qahiroh).

Sebab perbedaan pendapat ini
terletak pada beberapa perkara, diantaranya:

Karena isytirak pada huruf waw ( ( الواو / dan dalam firman Allah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat maka basuhlah wajahmu, dan tanganmu sampai siku dan usaplah kepalamu dan basuhlah kedua kakimu sampai mata kaki.”  (QS. Al- Maidah: 6)

Dimana huruf waw terkadang bermakna bersambung satu dengan yang lainnya, dan terkadang pula bisa bermakna tidak bersambung satu sama lain dengan jedah waktu tertentu.

TAMBIH:

Mereka yang mengatakan waw bermakna bersambung pada ayat diatas, maka konsekuensinya adalah wajib berturut- turut dalam membasuh anggota wudhu.
Sedangkan yang mengatakan waw pada ayat tersebut tidak bermakna bersambung maka konsekuensinya adalah tidak wajib berturut- turut dalam membasuh anggota wudhu.

Hadits Anas bin Malik:

أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ وَقَدْ تَوَضَأَ وَتَرَكَ عَلى قَدَمِه مِثْل مَوْضِعِ الظُّفْرِ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى اللهُ عليه و سلّم ارْجِعْ فَأَحْسِن وُضُوءَكَ

“Datang seorang laki-laki kepada Nabi dan dia telah berwudhu namun pada kakinya terdapat seukuran kuku yang tidak terkena air wudhu, maka Rasulullah bersabda kepadanya: Kembalilah dan perbagus wudhumu.” (HR. Abu Daud: 173, dishahihkan Syaekh Al-Albani). 

TAMBIH:

Para ulama yang mewajibkan ‘berturut-turut’ berargumen dengan hadits ini, mereka mengatakan bahwa jika sekiranya tidak wajib berturut-turut dalam membasuh anggota wudhu niscaya Nabi cukup memerintahkan orang ini untuk membasuh bagian yang belum terkena air wudhu itu saja, namun ternyata pada hadits ini tidak demikian, bahkan Nabi memerintahnya untuk memperbaiki/ perbagus wudhunya.  (Lihat 'Awnul Ma'bud)

Para ulama yang mewajibkan muwalah/ berturut-turut (bersambung) memahami perintah perbagus wudhu pada hadits ini, dengan pemahaman bahwa mengulangi wudhu (dari awal sebagai mana seseorang awal berwudhu). (Lihat 'Awnul Ma'bud).

Hadits Khalid bin Ma'dan (seorang tabi'in):

عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيّ صلى الله عليه و سلّم أَنَّ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلّم رَأَى رَجُلًا وَ في ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَة قَدْرُ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلّم أَنْ يُعِيْدَ الْوُضُوْءَ وَ الصّلَاةَ

“Dari sebagian sahabat Nabi bahwa Nabi melihat  seorang laki- laki sholat, sementara dipunggung kakinya terdapat seukuran dirham (uang dirham) yang tidak terkena air wudhu, maka beliau memerintahnya untuk mengulangi wudhu dan sholat.” (HR. Abu Daud: 185)


TAMBIH:

Hadits ini juga di jadikan hujjah oleh para ulama yang mewajibkan berturut-turut dalam membasuh anggota wudhu. Dipahami bahwa, andai berturut-turut tidak wajib maka dalam hal ini Nabi tidak perlu memerintahkannya untuk mengulangi wudhu, namun cukup memperbaiki atau membasuh bagian yang belum basah saja dan mengulangi sholat.


KETERANGAN SINGKAT:

Sebagaimana kita telah melihat dalil diatas dan sisi pendalilannya dari para ulama, maka perlu diketahui bahwa dengan dalil-dalil yang sama para ulama yang berbeda pendapat juga menetapkan argumen mereka, hanya saja mereka berbeda dalam memahami dalil-dalil tersebut.

Para ulama yang tidak mewajibkan berturut-turut/ bersambung dalam membasuh anggota wudhu berpendapat bahwa huruf waw pada surat Al- Maidah yang telah kita sebutkan diatas, tidak bermakna bersambung/ berturut-turut.

Hadits Abu Daud no 173, pada kata:

فَأَحْسِنِ الْوُضُوْءَ

“Perbaikilah/ perbaguslah wudhu”

¬¬Dipahami bahwa memperbaiki/ membaguskan wudhu dapat tecapai dengan cara: cukup dengan membasuh anggota wudhu yang tidak terkena air wudhu tersebut, tidak harus mengulangi wudhu. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. ¬

Berikut ini dalil-dalil tambahan yang dipakai oleh para ulama yang tidak mewajibkan berturut-turut dalam membasuh anggota wudhu:

Imam Bukhari berkata dalam dalam shohihnya:

باب تفريق الغسل و الوضوء

“Bab memisahkan mandi dan wudhu.”

Kemudian dibawah bab ini beliau menyebutkan bahwa: “Disebutkan dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa beliau pernah membasuh kedua kakinya setelah kering air wudhunya (yakni beliau berwudhu namun tidak membasuh kedua kaki sampai air wudhu yang terdapat dianggota wudhu lainnya telah mengering, ini isyarat tentang lamanya waktu beliau memisahkan antara membasuh anggota wudhu).”

TAMBIH:

Atho, Ibnu Musayyab, dan al-Jama'ah mereka berpendapat dengan atsar ini. Dan dilihat dari judul bab yang diberikan oleh Imam Bukhari menunjukkan kepada kita akan fiqih/ pemahaman/ pendapat Imam Bukhari tentang bolehnya memisahkan/ tidak berturut- turut dalam membasuh anggota wudhu, hal ini beliau perkuat dengan menyebutkan atsar Ibnu Umar.

Kemudian dalam shohih Bukhari terdapat hadits Ibnu Abbas tentang sifat mandi janabah Nabi yang diceritakan oleh Maimunah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi dalam mandi tersebut memisahkan antara mengusap kepala dan membasuh kaki. (Lihat Shohih Bukhari nomor 265) 

Dan sekian pendapat para ulama yang tidak mewajibkan hal tersebut, diantaranya:

Malik dan Robi'ah berpendapat:

ومن تعمد ذالك فعليه الإعادة ، ومن نسي فلا

“Barang siapa yang melakukan hal tersebut dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengulangi wudhu namun jika ia lupa maka tidak wajib atasnya untuk mengulangi wudhu.”  (Lihat Al-fath jilid 2, hal : 29-30)
                                
Imam Malik juga berpendapat:

إن قرب التفريق بنى ، و إن طال أعاد

“Jika pemisahan itu dalam waktu yang tidak lama maka dia lanjutkan wudhunya namun jika pemisahan tersebut dalam waktu yang lama maka ia harus mengulanginya.” (Lihat al-fath jilid 2, hal : 30)

Qatadah dan Al-Auza'i menyatakan:

لا يعيد إلا إن جف 

“Dia (orang yang berwudhu dan memisahkan anggota wudhu) tidak wajib mengulangi wudhunya (cukup dia menyambungnya) kecuali apabila telah kering bekas air wudhu pada anggota wudhunya.” (Lihat al-fath jilid 2, hal : 30)

          Atsar Ibnu Umar:

أنه توضأ في السوق دون رجليه ، ثم رجع إلى المسجد فمسح على خفيه ثم صلى

“Bahwa beliau (Ibnu Umar) berwudhu dipasar kemudian beliau ke masjid lalu mengusap diatas dua sepatunya kemudian beliau sholat (tanpa mengulangi wudhu).” (Riwayat Malik dalam Al-Muwatho, no: 43 kitab At-Tharah)

TAMBIH:

Al-Hafizd Ibnu Hajar berkata, sanad-sanadnya shahih (Al-Fath jilid 2, hal: 30).  Demikian pula Imam Syafi'i berkata: “Bisa jadi telah kering bekas air wudhu (Ibnu Umar) karena keringnya air wudhu dapat terjadi pada jarak yang lebih dekat dari pasar dan masjid.” (Al-fath jilid 2, hal 30)


KESIMPULAN:

Setelah memperhatikan argumen dari masing-masing kelompok para ulama antara yang mewajibkan berturut/ bersambung dalam membasuh anggota wudhu dan yang tidak mewajibkannya, maka pendapat yang kami yakini kuat adalah: “BOLEHNYA MEMISAHKAN ANTARA MEMBASUH ANGGOTA WUDHU DENGAN JARAK WAKTU YANG TIDAK LAMA MENURUT KEBIASAAN DAN ADANYA KEBUTUHAN AKAN HAL TERSEBUT.”

Misal, ketika seseorang sedang berwudhu dan tiba-tiba krans air tersebut macet, maka boleh berpindah mencari krans yang lain dan tidak perlu mengulangi wudhu dari awal akan tetapi cukup menyambungnya saja, atau pada perkara yang semisal dengan contoh ini.  Wallahu a'lam.

Pendapat ini berdasarkan:

Pertama: Atsar tentang mandi janabah Rasulullah dimana beliau memisahkan antara mengusap kepala dan membasuh kaki sebagaimana telah kami singgung pada awal pembahasan.
Kedua: Atsar Ibnu Umar dimana terlihat dengan jelas pada riwayat diatas bahwa beliau memisahkan antara anggota wudhu, dimana beliau berwudhu dipasar dan hanya sampai pada mengusap kepala dan tidaklah beliau mengusap diatas kedua sepatunya kecuali setelah beliau sampai di masjid.

Dan adapun atsar-atsar tentang Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk mengulangi wudhu, itu dipahami bahwa karena mereka telah mengakhiri wudhunya dan telah masuk pada ibadah yang lain yakni sholat. Sehingga disinilah perbedaan yang perlu diperhatikan adalah antara orang yang telah menutup ibadah wudhunya dalam keadaan ada sebagian anggota wudhu yang tidak basah, dan orang yang tidak  bermaksud menutup ibadah wudhunya dan dia hendak mengakhirkan/ memisahkan antara bagian anggota wudhu sebagaimana yang anda lihat pada mandi janabah Rasulullah  dan perbuatan Ibnu Umar.

Demikianlah kajian kita pada kesempatan ini semoga bermanfaat.

Wallahu Waliyut taufiq

Penulis: Al-Ustadz Junaid Ibrahim Iha hafizhahullah

Disadur dari: Bundel al-Ukhuwah th.I, terbitan MDHJayapura







Tidak ada komentar:

Posting Komentar