Jumat, 28 September 2018

KAJIAN HADITS: "Silsilah Adab"


Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:

لَيْسَ الْمُؤْمِنُ بِالطَّعَّانِ وَلَا اللَّعَّانِ وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ

“Tidaklah termasuk hamba yang mukmin, yaitu mereka yang selalu mengungkap aib, melaknat, berperangai buruk dan suka menyakiti.” (HR. Tirmidzi, dishohihkan oleh Syaekh al-Albani rahimahullah)

FAEDAH RINGKAS:

1. Pada prinsipnya seorang muslim harus memiliki akhlak yang luhur dan terbebas dari sifat/akhlak yang tercela. Jika dalam interaksinya dengan orang lain ada kesalahpahaman, maka tidak boleh baginya untuk melaknat saudaranya yaitu (termasuk laknat) merendahkan, mengumpat, mencaci, dan mendoakan agar dijauhkan dari rahmat Allah. Bagaimana bisa seorang yang berakal memohon kepada Allah agar saudaranya dijauhkan dari rahmatNya?!

Suatu ketika ada seorang wanita melaknat untanya, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:

لَا تَصْحَبْنَا نَاقَةٌ عَلَيْهَا لَعْنَةٌ

“Jangan menyertai kami unta yang terkena laknat.” (HR. Muslim)

Dalam riwayat lain Imran bin Hushain berkata:

بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ وَامْرَأَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ عَلَى نَاقَةٍ فَضَجِرَتْ فَلَعَنَتْهَا فَسَمِعَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ خُذُوا مَا عَلَيْهَا وَدَعُوهَا فَإِنَّهَا مَلْعُونَةٌ. قَالَ عِمْرَانُ فَكَأَنِّي أَرَاهَا الْآنَ تَمْشِي فِي النَّاسِ مَا يَعْرِضُ لَهَا أَحَدٌ

“Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam dalam suatu perjalanan, ada seorang wanita Anshar yang tengah mengendarai unta. Namun, unta yang sedang dikendarainya itu memberontak dengan tiba-tiba. Lalu dengan serta-merta wanita itu mengutuk untanya. Ketika Rasulullah mendengar ucapan wanita itu, beliau pun bersabda: 'Turunkanlah beban di atas unta dan lepaskanlah unta tersebut, karena ia telah dikutuk.' Imran berkata; 'Sepertinya saya melihat unta tersebut berjalan bersama rombongan kafilah tanpa ada seorang pun yang mengendarainya.” (HR. Muslim)

Ketika menjelaskan hadits ini syaekh Sholih Fauzan hafizhahullah berkata:

و هذا يدل على أنه لا يجوز لعن البهائم ، فكيف بلعن المسلم

“Hadits ini menunjukkan tidak boleh melaknat hewan, maka bagaimana dengan laknat terhadap seorang muslim.” (Syarh al-Kabair karya Syaekh Muhammad bin 'Abdul Wahab rahimahullah, halaman  413)

2. Hendaklah seorang muslim mewaspadai dirinya jangan sampai dia terperangkap dalam jeratan syaithon sehingga tidak pandai memanfaatkan lisannya dalam berkata yang menyebabkan dia meluapkan semua yang ada dalam isi hatinya tanpa melalui pertimbangan dan kehati-hatian. Ingatlah bahwa syaithon selalu mencari titik terlemah kita dan menyulut api kebinasaan dari sudut tersebut, maka jangan berikan peluang untuk dimanfaatkan oleh syaithon. Seorang muslim hendaklah mengingat dan mengamalkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam:

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaklah dia berbicara yang baik atau diam.” (HR. Bukhari)

3. Seseorang terkadang dilanda kemarahan dan kebencian sehingga membuatnya lupa, yang akhirnya diperdayai oleh syaithon sehingga membuat waktu dan kesibukannya habis untuk mengejek, menertawai dan mengumpat orang lain sebagai pelampiasan amarahnya.

Allah Ta'ala berfirman:

فَاتَّخَذْتُمُوهُمْ سِخْرِيًّا حَتَّىٰ أَنْسَوْكُمْ ذِكْرِي وَكُنْتُمْ مِنْهُمْ تَضْحَكُونَ

"Lalu kamu jadikan mereka buah ejekan, sehingga kamu lupa mengingat Aku, dan kamu (selalu) menertawakan mereka." (QS. Al-Mu'minun: 110)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:

مَنْ مات همَّازًا لَمَّازًا مُلَقِّبًا للناسِ كان علامَتُهُ يومَ القيامةِ أنْ يَسِمَهُ اللهُ على الخرطومِ مِنْ كِلَا الشَّفَتَيْنِ

“Barangsiapa yang wafat sebagai seorang yang suka mengumpat, mencela dan memberi julukan (yang buruk) kepada manusia, ciri-cirinya pada hari kiamat bahwa Allah memberi tanda padanya di batang hidungnya dari masing-masing dua sudut bibir.” (Dikeluarkan oleh al-Haitsami, Majma'uz Zawaid: 7/216. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Shalih. Ditsiqohkan oleh Abdul Malik bin Syu'aib dan didhoifkan oleh selainnya. Di dhoifkan oleh syaekh al-Albani dalam silsilah ad-Dhoifah nomor 5517).

Demikianlah yang dapat kami sampaikan pada kajian ini, semoga bermanfaat.

Wabillahi Taufiq

Penulis: Al-Ustadz Junaid Ibrahim Iha Hafizhahullah





Rabu, 26 September 2018

Edisi Fiqih: Berturut-turut Dalam Membasuh Anggota Wudhu


Pada kajian kali ini kita akan membahas suatu permasalahan yang diikhtilafkan oleh para ulama sejak dahulu sampai sekarang, yakni permasalahan apakah sambung- menyambung atau berturut- turut dalam membasuh anggota-anggota wudhu adalah merupakan syarat sahnya wudhu?!

Sebelum kajian ini kita uraikan maka perlu kiranya kita memahami bahwa meratakan air ke seluruh anggota wudhu adalah merupakan syarat sahnya wudhu, artinya apabila ada salah satu anggota wudhu yang tidak basah dengan air wudhu maka wudhu tersebut dianggap tidak sah.

Kemudian yang menjadi permasalahan adalah bagaimana jika wudhu itu terputus dan menjelang beberapa saat kemudian disambung lagi.

Contoh:
Seseorang yang sedang berwudhu namun tiba-tiba dia menghentikan wudhunya di pertengahan, apakah pada wajahnya atau kedua lengannya atau kakinya maupun anggota wudhu yang lain. Nah, ketika dia akan menyempurnakan wudhunya, apakah boleh baginya  hanya sekedar menyambung atau membasuh anggota wudhu yang belum dibasuh, atau dia harus mengulang dari awal wudhunya?

Perhatikanlah!
Pada kasus yang semisal dengan contoh diatas, para ulama berselisih pendapat. Bagi mereka yang mengatakan berturut-turut merupakan syarat sahnya wudhu, mereka mewajibkan untuk mengulangi wudhu dari awal. Adapun bagi para ulama yang tidak mensyaratkan hal ini mereka berpendapat bahwa cukup bagi orang tersebut untuk melanjutkan membasuh anggota yang belum dibasuh saja. Untuk lebih jelasnya berikut ini uraian permasalahannya –biidznillah- :

Ibnu Rusyd berkata, “Para ulama berbeda pendapat tentang berturut-turut dalam amalan wudhu.” Malik berpendapat:

فَذَهَبَ مالك إِلَى أنَّ الْمُوَالَاةَ فَرْضٌ مَعَ الذِّكْرِ وَ مَعَ الْقُدْرَةِ سَاقِطَة مَعَ النِّسْيَانِ وَ مَعَ الذِّكْرِ عِنْدَ الْعُذْرِ مَا لَمْ يَتَفَاخَشِ التَّفَاوُت

“Berturut-turut adalah fardhu hukumnya jika ingat dan sanggup menunaikan-nya. Kewajiban tersebut gugur jika lupa atau ingat akan tetapi tidak sanggup menunaikannya dengan syarat tidak terlalu lama masa jedahnya.”

Imam Syafi'i dan Abu Hanifah berpendapat:

وَ ذَهَبَ الشافِعِي و أَبُو حَنِيْفَة ِلَى أنَّ الْمُوَالَاةَ لَيْسَتْ مِنْ واجِبَاتِ الْوُضُوْءِ

“Berturut-turut tidak termasuk kewajiban dalam berwudhu.” (Lihat Bidayatul Mujtahid jilid 1, hal 54. Maktabah ibnu Taimiyah al- Qahiroh).

Sebab perbedaan pendapat ini
terletak pada beberapa perkara, diantaranya:

Karena isytirak pada huruf waw ( ( الواو / dan dalam firman Allah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan sholat maka basuhlah wajahmu, dan tanganmu sampai siku dan usaplah kepalamu dan basuhlah kedua kakimu sampai mata kaki.”  (QS. Al- Maidah: 6)

Dimana huruf waw terkadang bermakna bersambung satu dengan yang lainnya, dan terkadang pula bisa bermakna tidak bersambung satu sama lain dengan jedah waktu tertentu.

TAMBIH:

Mereka yang mengatakan waw bermakna bersambung pada ayat diatas, maka konsekuensinya adalah wajib berturut- turut dalam membasuh anggota wudhu.
Sedangkan yang mengatakan waw pada ayat tersebut tidak bermakna bersambung maka konsekuensinya adalah tidak wajib berturut- turut dalam membasuh anggota wudhu.

Hadits Anas bin Malik:

أَنَّ رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ وَقَدْ تَوَضَأَ وَتَرَكَ عَلى قَدَمِه مِثْل مَوْضِعِ الظُّفْرِ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى اللهُ عليه و سلّم ارْجِعْ فَأَحْسِن وُضُوءَكَ

“Datang seorang laki-laki kepada Nabi dan dia telah berwudhu namun pada kakinya terdapat seukuran kuku yang tidak terkena air wudhu, maka Rasulullah bersabda kepadanya: Kembalilah dan perbagus wudhumu.” (HR. Abu Daud: 173, dishahihkan Syaekh Al-Albani). 

TAMBIH:

Para ulama yang mewajibkan ‘berturut-turut’ berargumen dengan hadits ini, mereka mengatakan bahwa jika sekiranya tidak wajib berturut-turut dalam membasuh anggota wudhu niscaya Nabi cukup memerintahkan orang ini untuk membasuh bagian yang belum terkena air wudhu itu saja, namun ternyata pada hadits ini tidak demikian, bahkan Nabi memerintahnya untuk memperbaiki/ perbagus wudhunya.  (Lihat 'Awnul Ma'bud)

Para ulama yang mewajibkan muwalah/ berturut-turut (bersambung) memahami perintah perbagus wudhu pada hadits ini, dengan pemahaman bahwa mengulangi wudhu (dari awal sebagai mana seseorang awal berwudhu). (Lihat 'Awnul Ma'bud).

Hadits Khalid bin Ma'dan (seorang tabi'in):

عَنْ بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيّ صلى الله عليه و سلّم أَنَّ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلّم رَأَى رَجُلًا وَ في ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَة قَدْرُ الدِّرْهَمِ لَمْ يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلّم أَنْ يُعِيْدَ الْوُضُوْءَ وَ الصّلَاةَ

“Dari sebagian sahabat Nabi bahwa Nabi melihat  seorang laki- laki sholat, sementara dipunggung kakinya terdapat seukuran dirham (uang dirham) yang tidak terkena air wudhu, maka beliau memerintahnya untuk mengulangi wudhu dan sholat.” (HR. Abu Daud: 185)


TAMBIH:

Hadits ini juga di jadikan hujjah oleh para ulama yang mewajibkan berturut-turut dalam membasuh anggota wudhu. Dipahami bahwa, andai berturut-turut tidak wajib maka dalam hal ini Nabi tidak perlu memerintahkannya untuk mengulangi wudhu, namun cukup memperbaiki atau membasuh bagian yang belum basah saja dan mengulangi sholat.


KETERANGAN SINGKAT:

Sebagaimana kita telah melihat dalil diatas dan sisi pendalilannya dari para ulama, maka perlu diketahui bahwa dengan dalil-dalil yang sama para ulama yang berbeda pendapat juga menetapkan argumen mereka, hanya saja mereka berbeda dalam memahami dalil-dalil tersebut.

Para ulama yang tidak mewajibkan berturut-turut/ bersambung dalam membasuh anggota wudhu berpendapat bahwa huruf waw pada surat Al- Maidah yang telah kita sebutkan diatas, tidak bermakna bersambung/ berturut-turut.

Hadits Abu Daud no 173, pada kata:

فَأَحْسِنِ الْوُضُوْءَ

“Perbaikilah/ perbaguslah wudhu”

¬¬Dipahami bahwa memperbaiki/ membaguskan wudhu dapat tecapai dengan cara: cukup dengan membasuh anggota wudhu yang tidak terkena air wudhu tersebut, tidak harus mengulangi wudhu. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. ¬

Berikut ini dalil-dalil tambahan yang dipakai oleh para ulama yang tidak mewajibkan berturut-turut dalam membasuh anggota wudhu:

Imam Bukhari berkata dalam dalam shohihnya:

باب تفريق الغسل و الوضوء

“Bab memisahkan mandi dan wudhu.”

Kemudian dibawah bab ini beliau menyebutkan bahwa: “Disebutkan dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa beliau pernah membasuh kedua kakinya setelah kering air wudhunya (yakni beliau berwudhu namun tidak membasuh kedua kaki sampai air wudhu yang terdapat dianggota wudhu lainnya telah mengering, ini isyarat tentang lamanya waktu beliau memisahkan antara membasuh anggota wudhu).”

TAMBIH:

Atho, Ibnu Musayyab, dan al-Jama'ah mereka berpendapat dengan atsar ini. Dan dilihat dari judul bab yang diberikan oleh Imam Bukhari menunjukkan kepada kita akan fiqih/ pemahaman/ pendapat Imam Bukhari tentang bolehnya memisahkan/ tidak berturut- turut dalam membasuh anggota wudhu, hal ini beliau perkuat dengan menyebutkan atsar Ibnu Umar.

Kemudian dalam shohih Bukhari terdapat hadits Ibnu Abbas tentang sifat mandi janabah Nabi yang diceritakan oleh Maimunah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi dalam mandi tersebut memisahkan antara mengusap kepala dan membasuh kaki. (Lihat Shohih Bukhari nomor 265) 

Dan sekian pendapat para ulama yang tidak mewajibkan hal tersebut, diantaranya:

Malik dan Robi'ah berpendapat:

ومن تعمد ذالك فعليه الإعادة ، ومن نسي فلا

“Barang siapa yang melakukan hal tersebut dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengulangi wudhu namun jika ia lupa maka tidak wajib atasnya untuk mengulangi wudhu.”  (Lihat Al-fath jilid 2, hal : 29-30)
                                
Imam Malik juga berpendapat:

إن قرب التفريق بنى ، و إن طال أعاد

“Jika pemisahan itu dalam waktu yang tidak lama maka dia lanjutkan wudhunya namun jika pemisahan tersebut dalam waktu yang lama maka ia harus mengulanginya.” (Lihat al-fath jilid 2, hal : 30)

Qatadah dan Al-Auza'i menyatakan:

لا يعيد إلا إن جف 

“Dia (orang yang berwudhu dan memisahkan anggota wudhu) tidak wajib mengulangi wudhunya (cukup dia menyambungnya) kecuali apabila telah kering bekas air wudhu pada anggota wudhunya.” (Lihat al-fath jilid 2, hal : 30)

          Atsar Ibnu Umar:

أنه توضأ في السوق دون رجليه ، ثم رجع إلى المسجد فمسح على خفيه ثم صلى

“Bahwa beliau (Ibnu Umar) berwudhu dipasar kemudian beliau ke masjid lalu mengusap diatas dua sepatunya kemudian beliau sholat (tanpa mengulangi wudhu).” (Riwayat Malik dalam Al-Muwatho, no: 43 kitab At-Tharah)

TAMBIH:

Al-Hafizd Ibnu Hajar berkata, sanad-sanadnya shahih (Al-Fath jilid 2, hal: 30).  Demikian pula Imam Syafi'i berkata: “Bisa jadi telah kering bekas air wudhu (Ibnu Umar) karena keringnya air wudhu dapat terjadi pada jarak yang lebih dekat dari pasar dan masjid.” (Al-fath jilid 2, hal 30)


KESIMPULAN:

Setelah memperhatikan argumen dari masing-masing kelompok para ulama antara yang mewajibkan berturut/ bersambung dalam membasuh anggota wudhu dan yang tidak mewajibkannya, maka pendapat yang kami yakini kuat adalah: “BOLEHNYA MEMISAHKAN ANTARA MEMBASUH ANGGOTA WUDHU DENGAN JARAK WAKTU YANG TIDAK LAMA MENURUT KEBIASAAN DAN ADANYA KEBUTUHAN AKAN HAL TERSEBUT.”

Misal, ketika seseorang sedang berwudhu dan tiba-tiba krans air tersebut macet, maka boleh berpindah mencari krans yang lain dan tidak perlu mengulangi wudhu dari awal akan tetapi cukup menyambungnya saja, atau pada perkara yang semisal dengan contoh ini.  Wallahu a'lam.

Pendapat ini berdasarkan:

Pertama: Atsar tentang mandi janabah Rasulullah dimana beliau memisahkan antara mengusap kepala dan membasuh kaki sebagaimana telah kami singgung pada awal pembahasan.
Kedua: Atsar Ibnu Umar dimana terlihat dengan jelas pada riwayat diatas bahwa beliau memisahkan antara anggota wudhu, dimana beliau berwudhu dipasar dan hanya sampai pada mengusap kepala dan tidaklah beliau mengusap diatas kedua sepatunya kecuali setelah beliau sampai di masjid.

Dan adapun atsar-atsar tentang Rasulullah memerintahkan para sahabat untuk mengulangi wudhu, itu dipahami bahwa karena mereka telah mengakhiri wudhunya dan telah masuk pada ibadah yang lain yakni sholat. Sehingga disinilah perbedaan yang perlu diperhatikan adalah antara orang yang telah menutup ibadah wudhunya dalam keadaan ada sebagian anggota wudhu yang tidak basah, dan orang yang tidak  bermaksud menutup ibadah wudhunya dan dia hendak mengakhirkan/ memisahkan antara bagian anggota wudhu sebagaimana yang anda lihat pada mandi janabah Rasulullah  dan perbuatan Ibnu Umar.

Demikianlah kajian kita pada kesempatan ini semoga bermanfaat.

Wallahu Waliyut taufiq

Penulis: Al-Ustadz Junaid Ibrahim Iha hafizhahullah

Disadur dari: Bundel al-Ukhuwah th.I, terbitan MDHJayapura







Minggu, 23 September 2018

TALAQ

Definisi talaq:
Talaq berasal dari kata Al-Itlaq yang bermakna melepaskan dan meninggalkan, seperti dalam kalimat "Tallaqtu Al- Bilaad"  yakni saya meninggalkan negeri itu.

Pensyariatan talaq:
Talaq diperbolehkan dalam islam, bahkan bisa jadi talaq adalah obat untuk menyembuhkan sebuah penyakit dalam pernikahan.

Siapakah yang berhak menjatuhkan talaq?
Yang berhak melakukan talaq adalah suami karena permasalahan ini adalah masalah yang besar sehingga tidak boleh dan tidak bisa diserahkan kepada wanita dan anak kecil. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam  bersabda:

أَيُّمَا إمْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَّلاَقًا فِي غَيْرِ مَا بْأْسٍ، فَحَرَامٌ عَلَيْها رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Wanita mana saja yang meminta talaq dari suaminya tanpa adanya alasan yang benar, maka haram baginya bau surga.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi)

لَا طَلَاقَ وَ لَا عِطَاقَ فِي إِغْلَاقٍ

“Tidak sah talaq dan pembebasan budak disaat akal tidak berfungsi.” (HR. Ibnu Majah nomor 2046 dihasankan Syaekh Albani).

Hukum Talaq Orang yang Bermain-main:
Maksudnya seseorang yang berbicara tanpa adanya niat dan tidak menginginkan konsekuensi dan hakekatnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda:

ثَلَاثٌ جِدُّهُنَّ جِدٌّ ، وَ هَزْلُهُنَّ جِدٌّ: النِّكَاحُ وَ الطَّلَاقُ وَ الرَّجَعَةُ

“Tiga perkara yang mana keseriusan atau bercanda tetap dianggap serius, adalah dalam hal pernikahan, talak, dan rujuk.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi)

مَنْ نَكَحَ لَاعِبًا ، أَوْ طَلَّقَ لَاعِبًا ، أَوْ أَعْطَقَ لَاعِبًا ، فَقَدْ جَازَ

“Barang siapa yang menikah sambil bermain-main, atau mentalaq sambil bermain-main, atau membebaskan budak sambil bermain-main, maka sungguh telah terjadi.”

Maka dengan demikian, dalam perkara talaq ini hendaklah berhati-hati dan tidak bermudah-mudah dalam mengeluarkannya. Talaq juga dapat terjadi dengan kalimat yang jelas atau kiasan apabila dimaksudkan untuk talaq.

Bentuk-bentuk Talaq:
Setelah berlalu penjelasan singkat tetang hal-hal yang berkaitan dengan talaq. Maka talaq, jika ditinjau dari waktu menjatuhkannya terbagi menjadi dua:

1.Talaq sunnah

Sebagaimana talaq adalah suatu pemutusan hubungan pernikahan yang dilakukan oleh seorang suami atau hakim atas permintaan istri, maka talaq tidak boleh dilakukan pada sembarangan waktu, terlepas dari terhitung sah atau tidaknya talaq tersebut. Demikian pula jika pelakunya melakukan talaq pada waktu yang dilarang, maka dia berdosa. Adapun talaq pada waktu yang diperbolehkan, maka inilah yang dinamakan dengan talaq sunnah.

Talaq sunnah mempunyai beberapa persyaratan diantaranya:

Pertama: Istri tidak dalam keadaan nifas, karena pada dasarnya talaq sunnah dilakukan dalam keadaan wanita sedang suci sedangkan nifas bukan masa suci. Demikian ini keterangan Imam Shiddiiq Hasan Khaan dalam Ar-Raudhathu an-Nadhiyyah.

Kedua: Tidak boleh dilakukan dalam keadaan istri sedang suci yang sudah digauli. Yang demikian ini agar istri dapat menghitung masa iddahnya. Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ إِذَا طَلَّقۡتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحۡصُواْ ٱلۡعِدَّةَۖ

“Hai Nabi jika engkau mentalaq istri-istrimu, maka hendaklah kamu mentalak mereka pada waktu merek dapat menghitung masa iddahnya yang wajar.” (QS. Ath-Thalaaq: 1).

Demikian pula dalam riwayat ketika Ibnu Umar menceraikan istrinya dalam keadaan haid, lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam memerintahkannya untuk merujuk istrinya dan mengijinkan untuk melakukan talaq dalam keadaan istrinya bersih dari haid dan belum dicampuri. (Lihat riwayatnya dalam shohih Bukhari no. 5332 dan Muslim no 1471).

Ketiga: Tidak boleh dilakukan dengan sekali ucapan untuk tiga talaq, seperti seseorang berkata kepada istrinya: “Hari ini atau sekarang saya mentalaq tiga engkau” atau kalimat yang semisal yang bermakna menjatuhkan tiga talaq dalam satu ucapan. Meski talaq dengan cara seperti ini diperbincangkan oleh para ulama tentang sah atau tidaknya, namun yang rojih/ kuat adalah bahwa talaq seperti ini sah, hanya saja terhitung satu talaq.

2.Talaq Bid'ah

Talaq bid'ah adalah talaq yang dilakukan pada waktu terlarang untuk melakukan talaq. Para ulama telah berselisih pandapat tentang talaq bid'ah apakah sah atau tidak, namun yang rojih insyaAllah adalah talaqnya sah, hanya saja pelakunya (dalam hal ini suami), berdosa atas hal tersebut.

Catatan:
Perlu diperhatikan bahwa talaq jika di tinjau dari bisa kembali (yakni rujuk) atau tidak- terbagi menjadi dua, yaitu talaq Raj'i dan talaq Bain.

-        Talaq raj'i

Talaq raj'i adalah talaq yang masih bisa kembali rujuk, baik setelah masa iddah atau sebelum masa iddah, hanya saja jika telah selesai masa iddah maka rujuknya dilakukan dengan akad nikah yang baru, mahar, saksi dan wali. Dan Jika rujuk dilakukan sebelum berakhir masa iddah, maka cukup dengan perkataan atau jima’ diantara mereka, atau dengan sesuatu apapun yang dapat dipahami bahwa mereka telah rujuk, tidak perlu ada saksi, mahar dan wali. Batasan talaq Raj'i adalah dua kali -yang masa iddahnya tiga bulan- dari masing-masing talaq. Allah Ta’ala berfirman:

ٱلطَّلَٰقُ مَرَّتَانِۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِيحُۢ بِإِحۡسَٰنٖۗ

“Talaq (yang bisa dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh menahannya dengan cara yang ma'ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik.” (QS.  Al- Baqarah: 229).

-        Talaq Bain

Talaq bain adalah talaq fase terakhir yang tidak bisa lagi rujuk kecuali sang istri menikah dengan orang lain dan suatu saat jika bercerai, maka mereka boleh kembali menikah dengan mahar, wali dan saksi sebagaimana pernikahan awal.--------------------------------------------------------

Wallahu Waliyut taufiq

Penulis: Al-Ustadz Junaid Ibrahim Iha Hafizhahullah




Jumat, 21 September 2018

Setiap Orang Dibangkitkan Sesuai Keadaan Ia Diwafatkan

Disebutkan dalam shohih muslim, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda yang artinya: “Sesungguhnya akan dibangkitkan setiap orang sesuai dengan keadaan wafatnya.”

Demikianlah... Jika seseorang wafat dalam keadaan baik maka akan dibangkitkan dalam keadaan baik pula, dan jika seseorang wafat dalam keadaan yang jelek maka akan dibangkitkan dalam keadaan yang jelek pula. Kita berlindung kepada Allah dari wafat dalam keadaan yang jelek. Dan sesungguhnya diantara manusia ada yang mendekatkan diri kepada Allah dengan beberapa keadaan, yakni:

Pertama, ada yang mendekatkan diri kepada Allah hanya dengan rasa harap semata. Hingga yang terjadi hanyalah harapan akan rahmat dan karunia Allah tanpa melakukan amalan shalih. Dengan prinsip inilah muncul pemikiran bahwa meninggalkan amalan tidak mempengaruhi iman, tentunya inilah yang disebut dengan murji'ah.

Kedua, ada pula yang mendekatkan diri kepada Allah dengan rasa takut saja, sehingga dari rasa takut yang sangat ini membuat mereka memposisikan Allah seperti raja yang sangat kejam lalu mendorong mereka untuk berbuat amal sebanyak-banyak sampai keluar dari batasan syari'at, bahkan mengkafirkan setiap orang yang melakukan dosa besar. Dan inilah bagian dari ciri khawarij.

Ketiga, adapula yang mendekatkan diri kepada Allah dengan rasa cinta saja. Dengan rasa cinta yang tinggi membawa mereka sampai pada tingkat merekayasa dan menghalalkan berbagai macam bentuk ibadah yang tidak diidzinkan oleh syari'ah dengan alasan cinta kepada Allah, hingga terjadilah berbagai bentuk pengkultusan terhadap peninggalan-peninggalan orang-orang shalih, menenangkan hati dengan berbagai macam jenis musik dan lain sebagainya, dengan dasar cinta dan ingin mendekatkan diri kepada Allah. Inilah bentuk dan pola para sufi dalam menjalankan agama.

Adapun ahlus sunnah, adalah mereka yang beribadah kepada Allah sesuai dengan syari'at Allah yang berada diantara berbagai sikap ekstrem tersebut dengan penuh keadilan dan sikap pertengahan, yaitu mereka beribadah kepada Allah dengan rasa harap akan rahmat dan karunia Allah serta takut akan adzab-Nya dan dengan rasa cinta yang mendalam melaksanakan berbagai bentuk ketaatan tersebut.

-----------------

Ya akhi... sesungguhnya engkau tidak tahu dengan amalan apa engkau akan menghadap Allah Tabaaraka Wa Ta'ala.

Ya akhi... engkau tidak tahu pula berapa lama engkau akan hidup di dunia ini, dan dengan keadaan bagaimana engkau akan mengakhiri hidupmu.

Perhatikanlah dirimu dalam beramal dan jangan engkau melalaikan sisa usiamu, biarlah dalam kehidupan ini engkau merasa terasingkan dan seolah berjalan sendiri karena kehidupan akhirat jauh lebih baik dan abadi. Jika engkau tidak punya teman di kehidupan dunia ini maka yakinlah engkau punya banyak bidadari diakhirat kelak jika engkau adalah orang yang baik.

Ya akhi... mengapa engkau cemburu pada kehidupan dunia dan engkau tidak cemburu pada kehidupan akhirat?

Ketahuilah, bahwa jannah adalah sesuatu yang baik dan tidak akan memasukinya kecuali orang-orang yang baik pula. Wallahu Waliyyut Taufiq---------------------------------------------------

Ditulis Oleh: Al-Ustadz Junaid Ibrahim Iha Hafizhahullah




Selasa, 18 September 2018

FIQIH KELUARGA: “Ketaatan Seorang Istri Kepada Suaminya”


Islam telah memotivasi para wanita agar menaati suaminya, memperelok hubungan pernikahan dengannya, serta memperindah pergaulan dengannya. Tersebut dalam sebuah hadits bahwa suatu ketika datang seorang wanita kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam kemudian berkata:

“Wahai Rasulullah aku adalah utusan kaum wanita kepadamu. Allah Ta’ala telah  perintahkan jihad kepada kaum lelaki. Jika mereka menang maka mereka mendapatkan pahala dan jika  mereka terbunuh, mereka hidup disisi Rabb mereka dengan mendapat rezki. Sedangkan kami kaum wanita harus berbakti kepada mereka, lalu apa bagian kami dari hal itu? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam pun bersabda:

أَبْلِغِي مَنْ لَقِيْتِ مِنَ النِّسَاءِ أنَّ طَاعَةَ الْمَرْأَةِ الزَوْجَ وَاعْتِرافا بِحَقِّهِ يَعْدِلُ ذالِك، وَ قَلِيْلٌ مِنْكُنَّ يَفْعَلُهُ

“Sampaikan kepada wanita yang engkau temui bahwa taatnya istri kepada suami dan pengakuannya terhadap hak suaminya sebanding dengan jihad, namun sedikit dari kalian yang melakukannya.” (HR. Al-Bazzar dan Thobrani)

Renungkanlah Wahai Saudariku Muslimah !!
Bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam menjadikan ketaatan kepada suami sebanding dengan jihad, yang mana jihad merupakan puncak ajaran islam. Bahkan Rasulullah menjadikan ketaatan istri kepada suaminya sebagai sebab masuk jannah.

Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda :

إٍذَا صَلَّتْ اْلمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَ صَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَ أَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتِ الْجَنَّةَ

“Jika seorang wanita memelihara sholat lima waktu, puasa dibulannya (Ramadhon), menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, niscaya ia masuk surga.” (HR. Ahmad).

Allah Ta’ala juga telah menjadikan ketaatan kepada suami sebagai sifat wanita sholihah. Allah Ta’ala berfirman:

فَٱلصَّٰلِحَٰتُ قَٰنِتَٰتٌ حَٰفِظَٰتٞ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُۚ

“Maka wanita-wanita sholihah itu ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)...” (QS. An-Nisa' : 34)

¬Kata Al-Qonitat dalam ayat tersebut bermakna wanita-wanita yang menaati suami mereka, sebagaimana yang dinukil dari perkataan Ibnu Abbas.¬

Ketaatan ini adalah perkara yang harus ada secara alamiyah dalam perjalanan kehidupan rumah tangga. Secara umum, tabiat hidup dan tabiat hubungan manusia menuntut adanya pemimpin dan yang dipimpin, adanya panutan dan pengikut. Dan kehidupan rumah tangga adalah hubungan antara dua orang atau lebih (jika punya anak atau suami, termasuk orang yang menjalankan syari'at poligami) maka disana harus ada pemimpin yang mengarahkan lajunya dan meluruskan perjalanannya. Dan yang menjadi pemimpin disini adalah kaum lelaki, sebagaimana hal itu telah ditetapkan dengan dua perkara, yaitu:

·      Seluruh syari'at yang datangnya dari langit (yakni agama Allah Ta’ala), dan
·      Fitrah manusia.

Allah Ta’ala berfirman:

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعۡضَهُمۡ عَلَىٰ بَعۡضٖ وَبِمَآ أَنفَقُواْ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡۚ

“Kaum lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (kaum lelaki) atas sebagian yang lain (kaum wanita), dan karena mereka (kaum lelaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (QS. An-Nisa: 34)

Kepemimpinan ini menuntut adanya ketaatan istri pada suaminya yang berfungsi sebagai penangkis munculnya problematika, penjaga eksistensi keluarga dari keretakan dan kehancuran serta pendorong lajunya kehidupan keluarga menuju sebuah kemajuan.

Kepada kaum hawa dan tentunya kepada para keluarga, saya mengajak  untuk  memperhatikan strategi yang dibangun oleh iblis dan bala tentaranya untuk menghancurkan sebuah hubungan rumah tangga, sebagaimana termaktub dalam hadits yang artinya:

“Sesungguhnya Iblis menegakkan singga sananya diatas air, lalu ia mengutus para pasukannya. Pasukan yang paling dekat dengannya adalah yang paling besar fitnahnya. Salah seorang dari mereka datang seraya berkata: “Saya tidak meninggalkan si fulan sampai dia melakukan ini..” Iblis pun berkata kamu belum berbuat apa-apa. Kemudian datang lagi salah seorang dari mereka, (dan berkata): “Aku tidak meninggalkan fulan sampai aku pisahkan antara dia dan istrinya”. Maka didekatkan lah pada Iblis dan ia berkata “Bagus kamu bagus.” (HR. MUSLIM)

Begitulah para pasukan Iblis dari bangsa jin dan manusia selalu berkeliaran dan berusaha untuk merusak sebuah hubungan rumah tangga yang dijalani antara anak Adam.

Ketahuilah...!!
Seorang suami yang mendapatkan kelembutan dan kehangatan dari seorang istri tidak diragukan lagi bahwa hal itu akan melahirkan pada dirinya cinta tulus dan kasih sayang kepada istrinya. Dengan begitu akan terwujud apa yang Allah Ta’ala firmankan sebagai berikut:

وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَأٓيَٰتٖ لِّقَوۡمٖ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan diantaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”  (QS. Ar-Ruum: 21)

Namun suatu hal yang harus diingat dan dipahami dengan baik adalah bahwa taatnya seorang istri terhadap suaminya adalah dalam rangka meraih jannah, sehingga tidak ada ketaatan dalam rangka bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Diantara contoh ketaatan yang salah yang dipersembahkan oleh seorang istri kepada suami adalah:

Pertama: Memenuhi keinginan suami untuk jimak dalam keadaan haid dengan dalil taat kepada suami dan ingin membahagiakan suami serta takut membuat suami marah.

Kedua: Memenuhi keinginan suami untuk tidak sholat atau tidak belajar ilmu agama dengan dalil taat kepada suami. Padahal menuntut ilmu agama adalah kewajiban yang bersifat fardhu 'ain sebagai bentuk ketaatan kepada Allah Ta’ala, sehingga bila suami melarang akan hal ini dengan alasan yang tidak jelas maka tentunya suami termasuk diantara manusia yang paling jelek yaitu melarang atau mencegah manusia dari jalan Allah, sebab itu larangan yang demikian tidak wajib untuk dipatuhi.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam bersabda:

لاَ طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ الْخَالِقِ

“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam hal bermaksiat kepada Allah.”  (HR. Ahmad dan Al-Hakim)

Akhir kalam, semoga kajian ini bermanfaat bagi kita dan menjadi amalan yang dapat memberatkan timbangan kebaikan kita di hari akhirat nanti. -Wallahu Waliyut Taufiq------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Penulis: Al-Ustadz Junaid Ibrahim Iha Hafizhahullah