Pada kajian kali ini kita akan membahas
suatu permasalahan yang diikhtilafkan oleh para ulama sejak dahulu sampai
sekarang, yakni permasalahan apakah sambung- menyambung atau berturut- turut
dalam membasuh anggota-anggota wudhu adalah merupakan syarat sahnya wudhu?!
Sebelum kajian ini kita uraikan maka perlu
kiranya kita memahami bahwa meratakan air ke seluruh anggota wudhu adalah
merupakan syarat sahnya wudhu, artinya apabila ada salah satu anggota wudhu
yang tidak basah dengan air wudhu maka wudhu tersebut dianggap tidak sah.
Kemudian yang menjadi permasalahan adalah bagaimana
jika wudhu itu terputus dan menjelang beberapa saat kemudian disambung lagi.
Contoh:
Seseorang yang sedang berwudhu namun tiba-tiba
dia menghentikan wudhunya di pertengahan, apakah pada wajahnya atau kedua
lengannya atau kakinya maupun anggota wudhu yang lain. Nah, ketika dia akan
menyempurnakan wudhunya, apakah boleh baginya hanya
sekedar menyambung atau membasuh anggota wudhu yang belum dibasuh, atau dia
harus mengulang dari awal wudhunya?
Perhatikanlah!
Pada kasus yang semisal dengan contoh
diatas, para ulama berselisih pendapat. Bagi mereka yang mengatakan
berturut-turut merupakan syarat sahnya wudhu, mereka mewajibkan untuk
mengulangi wudhu dari awal. Adapun bagi para ulama yang tidak
mensyaratkan hal ini mereka berpendapat bahwa cukup bagi orang tersebut
untuk melanjutkan membasuh anggota yang belum dibasuh saja. Untuk lebih
jelasnya berikut ini uraian permasalahannya –biidznillah- :
Ibnu Rusyd berkata, “Para ulama berbeda
pendapat tentang berturut-turut dalam amalan wudhu.” Malik berpendapat:
فَذَهَبَ
مالك إِلَى أنَّ الْمُوَالَاةَ فَرْضٌ مَعَ الذِّكْرِ وَ مَعَ الْقُدْرَةِ
سَاقِطَة مَعَ النِّسْيَانِ وَ مَعَ الذِّكْرِ عِنْدَ الْعُذْرِ مَا لَمْ
يَتَفَاخَشِ التَّفَاوُت
“Berturut-turut
adalah fardhu hukumnya jika ingat dan sanggup menunaikan-nya. Kewajiban tersebut
gugur jika lupa atau ingat akan tetapi tidak sanggup menunaikannya dengan
syarat tidak terlalu lama masa jedahnya.”
Imam Syafi'i dan Abu Hanifah berpendapat:
وَ
ذَهَبَ الشافِعِي و أَبُو حَنِيْفَة ِلَى أنَّ الْمُوَالَاةَ لَيْسَتْ مِنْ
واجِبَاتِ الْوُضُوْءِ
“Berturut-turut tidak termasuk kewajiban
dalam berwudhu.” (Lihat Bidayatul Mujtahid jilid 1, hal 54. Maktabah ibnu
Taimiyah al- Qahiroh).
Sebab perbedaan pendapat ini
terletak pada beberapa perkara,
diantaranya:
Karena isytirak pada huruf waw ( ( الواو /
dan dalam firman Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِذَا قُمۡتُمۡ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ فَٱغۡسِلُواْ وُجُوهَكُمۡ
وَأَيۡدِيَكُمۡ إِلَى ٱلۡمَرَافِقِ وَٱمۡسَحُواْ بِرُءُوسِكُمۡ وَأَرۡجُلَكُمۡ
إِلَى ٱلۡكَعۡبَيۡنِۚ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila
kamu hendak mengerjakan sholat maka basuhlah wajahmu, dan tanganmu
sampai siku dan usaplah kepalamu dan basuhlah kedua kakimu sampai
mata kaki.” (QS. Al- Maidah: 6)
Dimana huruf waw terkadang bermakna
bersambung satu dengan yang lainnya, dan terkadang pula bisa bermakna
tidak bersambung satu sama lain dengan jedah waktu tertentu.
TAMBIH:
Mereka yang mengatakan waw bermakna
bersambung pada ayat diatas, maka konsekuensinya adalah wajib berturut- turut
dalam membasuh anggota wudhu.
Sedangkan yang mengatakan waw pada
ayat tersebut tidak bermakna bersambung maka konsekuensinya adalah tidak wajib
berturut- turut dalam membasuh anggota wudhu.
Hadits Anas bin Malik:
أَنَّ
رَجُلًا جَاءَ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ وَقَدْ تَوَضَأَ وَتَرَكَ عَلى قَدَمِه
مِثْل مَوْضِعِ الظُّفْرِ، فَقَالَ لَهُ رَسُوْلُ اللهِ صلى اللهُ عليه و سلّم
ارْجِعْ فَأَحْسِن وُضُوءَكَ
“Datang
seorang laki-laki kepada Nabi ﷺ
dan dia telah berwudhu namun pada kakinya terdapat seukuran kuku yang tidak
terkena air wudhu, maka Rasulullah ﷺ bersabda
kepadanya: Kembalilah dan perbagus wudhumu.” (HR. Abu Daud: 173, dishahihkan
Syaekh Al-Albani).
TAMBIH:
Para ulama yang mewajibkan ‘berturut-turut’
berargumen dengan hadits ini, mereka mengatakan bahwa jika sekiranya tidak
wajib berturut-turut dalam membasuh anggota wudhu niscaya Nabi ﷺ
cukup memerintahkan orang ini untuk membasuh bagian yang belum terkena air
wudhu itu saja, namun ternyata pada hadits ini tidak demikian, bahkan Nabi ﷺ
memerintahnya untuk memperbaiki/ perbagus wudhunya. (Lihat 'Awnul Ma'bud)
Para ulama yang mewajibkan muwalah/
berturut-turut (bersambung) memahami perintah perbagus wudhu pada hadits ini,
dengan pemahaman bahwa mengulangi wudhu (dari awal sebagai mana seseorang awal
berwudhu). (Lihat 'Awnul Ma'bud).
Hadits Khalid bin Ma'dan
(seorang tabi'in):
عَنْ
بَعْضِ أَصْحَابِ النَّبِيّ صلى الله عليه و سلّم أَنَّ النَّبِيّ صلى الله عليه
وسلّم رَأَى رَجُلًا وَ في ظَهْرِ قَدَمِهِ لُمْعَة قَدْرُ الدِّرْهَمِ لَمْ
يُصِبْهَا الْمَاءُ فَأَمَرَهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه و سلّم أَنْ يُعِيْدَ
الْوُضُوْءَ وَ الصّلَاةَ
“Dari sebagian sahabat Nabi ﷺ
bahwa Nabi ﷺ melihat
seorang laki- laki sholat, sementara dipunggung kakinya terdapat
seukuran dirham (uang dirham) yang tidak terkena air wudhu, maka beliau
memerintahnya untuk mengulangi wudhu dan sholat.” (HR. Abu Daud: 185)
TAMBIH:
Hadits ini juga di jadikan hujjah oleh
para ulama yang mewajibkan berturut-turut dalam membasuh anggota wudhu.
Dipahami bahwa, andai berturut-turut tidak wajib maka dalam hal ini Nabi ﷺ
tidak perlu memerintahkannya untuk mengulangi wudhu, namun cukup memperbaiki
atau membasuh bagian yang belum basah saja dan mengulangi sholat.
KETERANGAN SINGKAT:
Sebagaimana kita telah melihat dalil
diatas dan sisi pendalilannya dari para ulama, maka perlu diketahui bahwa
dengan dalil-dalil yang sama para ulama yang berbeda pendapat juga menetapkan
argumen mereka, hanya saja mereka berbeda dalam memahami dalil-dalil tersebut.
Para ulama yang tidak mewajibkan
berturut-turut/ bersambung dalam membasuh anggota wudhu berpendapat bahwa huruf
waw pada
surat Al- Maidah yang telah kita sebutkan diatas, tidak bermakna bersambung/
berturut-turut.
Hadits Abu Daud no 173, pada kata:
فَأَحْسِنِ
الْوُضُوْءَ
“Perbaikilah/ perbaguslah wudhu”
¬¬Dipahami bahwa memperbaiki/ membaguskan wudhu
dapat tecapai dengan cara: cukup dengan membasuh anggota wudhu yang tidak
terkena air wudhu tersebut, tidak harus mengulangi wudhu. Ini adalah pendapat
Abu Hanifah. ¬
Berikut ini dalil-dalil tambahan yang
dipakai oleh para ulama yang tidak mewajibkan berturut-turut dalam membasuh
anggota wudhu:
Imam Bukhari berkata dalam dalam shohihnya:
باب
تفريق الغسل و الوضوء
“Bab memisahkan mandi dan wudhu.”
Kemudian dibawah bab ini beliau
menyebutkan bahwa: “Disebutkan dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa beliau
pernah membasuh kedua kakinya setelah kering air wudhunya (yakni beliau
berwudhu namun tidak membasuh kedua kaki sampai air wudhu yang terdapat
dianggota wudhu lainnya telah mengering, ini isyarat tentang lamanya waktu
beliau memisahkan antara membasuh anggota wudhu).”
TAMBIH:
Atho, Ibnu Musayyab, dan al-Jama'ah mereka
berpendapat dengan atsar ini. Dan dilihat dari judul bab yang diberikan oleh
Imam Bukhari menunjukkan kepada kita akan fiqih/ pemahaman/ pendapat Imam
Bukhari tentang bolehnya memisahkan/ tidak berturut- turut dalam membasuh
anggota wudhu, hal ini beliau perkuat dengan menyebutkan atsar Ibnu Umar.
Kemudian dalam shohih Bukhari terdapat
hadits Ibnu Abbas tentang sifat mandi janabah Nabi ﷺ yang
diceritakan oleh Maimunah radhiyallahu 'anha, bahwa Nabi ﷺ
dalam mandi tersebut memisahkan antara mengusap kepala dan membasuh kaki. (Lihat
Shohih Bukhari nomor 265)
Dan sekian pendapat para ulama yang tidak
mewajibkan hal tersebut, diantaranya:
Malik dan Robi'ah berpendapat:
ومن
تعمد ذالك فعليه الإعادة ، ومن نسي فلا
“Barang siapa yang melakukan hal tersebut
dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengulangi wudhu namun jika ia lupa
maka tidak wajib atasnya untuk mengulangi wudhu.” (Lihat Al-fath jilid 2, hal : 29-30)
Imam Malik juga berpendapat:
إن قرب
التفريق بنى ، و إن طال أعاد
“Jika pemisahan itu dalam waktu yang tidak
lama maka dia lanjutkan wudhunya namun jika pemisahan tersebut dalam waktu yang
lama maka ia harus mengulanginya.” (Lihat al-fath jilid 2, hal : 30)
Qatadah dan Al-Auza'i menyatakan:
لا يعيد
إلا إن جف
“Dia
(orang yang berwudhu dan memisahkan anggota wudhu) tidak wajib mengulangi
wudhunya (cukup dia menyambungnya) kecuali apabila telah kering bekas air wudhu
pada anggota wudhunya.” (Lihat al-fath jilid 2, hal : 30)
Atsar
Ibnu Umar:
أنه
توضأ في السوق دون رجليه ، ثم رجع إلى المسجد فمسح على خفيه ثم صلى
“Bahwa beliau (Ibnu Umar) berwudhu dipasar
kemudian beliau ke masjid lalu mengusap diatas dua sepatunya kemudian beliau
sholat (tanpa mengulangi wudhu).” (Riwayat Malik dalam Al-Muwatho, no: 43
kitab At-Tharah)
TAMBIH:
Al-Hafizd Ibnu Hajar berkata, sanad-sanadnya
shahih (Al-Fath jilid 2, hal: 30). Demikian pula Imam Syafi'i berkata: “Bisa jadi
telah kering bekas air wudhu (Ibnu Umar) karena keringnya air wudhu dapat
terjadi pada jarak yang lebih dekat dari pasar dan masjid.” (Al-fath jilid
2, hal 30)
KESIMPULAN:
Setelah memperhatikan argumen dari
masing-masing kelompok para ulama antara yang mewajibkan berturut/ bersambung
dalam membasuh anggota wudhu dan yang tidak mewajibkannya, maka pendapat yang
kami yakini kuat adalah: “BOLEHNYA MEMISAHKAN ANTARA MEMBASUH ANGGOTA WUDHU
DENGAN JARAK WAKTU YANG TIDAK LAMA MENURUT KEBIASAAN DAN ADANYA KEBUTUHAN AKAN
HAL TERSEBUT.”
Misal, ketika seseorang sedang berwudhu
dan tiba-tiba krans air tersebut macet, maka boleh berpindah mencari krans yang
lain dan tidak perlu mengulangi wudhu dari awal akan tetapi cukup menyambungnya
saja, atau pada perkara yang semisal dengan contoh ini. Wallahu a'lam.
Pendapat ini berdasarkan:
Pertama: Atsar tentang mandi janabah Rasulullah ﷺ dimana beliau memisahkan antara mengusap
kepala dan membasuh kaki sebagaimana telah kami singgung pada awal pembahasan.
Kedua: Atsar Ibnu Umar dimana terlihat dengan jelas pada riwayat diatas
bahwa beliau memisahkan antara anggota wudhu, dimana beliau berwudhu dipasar
dan hanya sampai pada mengusap kepala dan tidaklah beliau mengusap diatas kedua
sepatunya kecuali setelah beliau sampai di masjid.
Dan adapun atsar-atsar tentang Rasulullah ﷺ
memerintahkan para sahabat untuk
mengulangi wudhu, itu dipahami bahwa karena mereka telah mengakhiri wudhunya
dan telah masuk pada ibadah yang lain yakni sholat. Sehingga disinilah
perbedaan yang perlu diperhatikan adalah antara orang yang telah menutup
ibadah wudhunya dalam keadaan ada sebagian anggota wudhu yang tidak basah,
dan orang yang tidak bermaksud
menutup ibadah wudhunya dan dia hendak mengakhirkan/ memisahkan antara bagian
anggota wudhu sebagaimana yang anda lihat pada mandi janabah Rasulullah ﷺ
dan perbuatan Ibnu Umar.
Demikianlah kajian kita pada kesempatan
ini semoga bermanfaat.
Wallahu
Waliyut taufiq
Penulis:
Al-Ustadz Junaid Ibrahim Iha hafizhahullah
Disadur
dari: Bundel al-Ukhuwah th.I, terbitan MDHJayapura