بِسۡمِ
ٱللَّهِ ٱلرَّحۡمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ
Acara tahlilan atau acara pengiriman pahala bacaan kepada mayyit
atau roh merupakan tradisi yang telah membudaya di kalangan masyarakat atau
dengan kata lain telah menjadi budaya masyarakat muslim di tanah air.
Pada umumnya dalam acara tersebut sering dibacakan ayat-ayat
tertentu dari Al-Qur’an, bacaan LAA ILAAHA ILLALLAH, SUBHANALLAH, dan lain-lain dimana pahala dari bacaan-bacaan
tersebut dihadiahkan atau dikirim kepada mayyit atau roh tertentu atau arwah
kaum muslimin pada umumnya.
Satu hal yang belum diketahui oleh kaum muslimin ialah bahwa
amalan TAHLILAN dan SELAMATAN yang pahalanya dikirimkan kepada mayyit
bertentangan dengan pendapat para ulama dari kalangan MADZHAB SYAFI’I termasuk
IMAM SYAFI’I sendiri. Jika ada pendapat lain dari kalangan madzhab tersebut
maka jumlahnya sangat sedikit dan tentu pendapat tersebut dipandang lemah sebab
bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an (Ayat 39 Surat An-Najm dan Sunnah Nabi
serta Sahabat-Sahabatnya).
IMAM AN- NAWAWI dalam Kitabnya SYARAH MUSLIM menyebutkan :
“Adapun bacaan Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayyit),
maka yang masyhur dalam Madzhab Syafi’i tidak dapat sampai kepada mayyit yang
dikirimi. Sedang dalilnya Imam Syafi’i dan Syafi’iyah yaitu firman Allah ...
yang artinya:
“Dan seseorang tidak akan memperoleh melainkan pahala yang ia
usahakan” dan sabda Nabi yang artinya:
“Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amal
usahanya kecuali 3 perkara, (1) amal jariyah (sedekah), (2) ilmu yang
bermanfaat, (3) anak soleh yang mendoakannya”. (An-Nawawi dalam Syarah Muslim
Juz 1 Halaman 60).
IMAM AN- NAWAWI juga menyebutkan dalam kitabnya TAKMILATUL MAJMU’
SYARAH MUHADZAB sebagai berikut:
“Adapun bacaan Qur’an dan mengirimkan pahalanya untuk mayyit dan
mengganti sholatnya mayyit (yang ditinggalkan oleh si mayyit semasa hidupnya),
dan sebagainya, menurut Imam Syafi’i dan Jumhur Ulama adalah tidak dapat sampai
kepada mayyit yang dikirimi dan keterangan seperti ini telah diulang- ulang
oleh Imam Nawawi di dalam kitabnya Syarah Muslim. (As-Subuki, Takmilatul Majmu’
Syarah Muhadzab Juz 10 Halaman 426)
AL-HAITAMI di dalam Kitabnya AL-FATAWA AL-QUBRA AL-FIQHIYAH
mengatakan :
“Mayyit
tidak boleh dibacakan apapun berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama
Mutakaddimin (terdahulu) bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayyit)
adalah tidak dapat sampai kepadanya, sebab
pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja sedang pahala hasil amalan tidak
dapat dipindahkan dari amil (yang mengamalkan) perbuatan itu. Allah berfirman
yang artinya:
“Dan
manusia tidak memperoleh kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri”. (Juz 2
Halaman 9)
IMAM
MUZANI di dalam
HAMISY AL UM mengatakan:
“Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah
bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalnya adalah
untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada
orang lain.
(Tepi
Al Um Syafi’i Juz 7 Halaman 269)
IMAM AL-KHAZIM di dalam Tafsirnya mengatakan:
“Dan
masyhur dalam Madzhab Syafi’i bahwa bacaan Qur’an (yang pahalanya dikirimkan
kepada mayyit) adalah tidak dapat sampai kepada mayyit yang dikirimi. (Al Jamal
Juz 4 Halaman 236)
Dalam TAFSIR JALALAIN Juz 2 Halaman 197
disebutkan: “Maka seseorang tidak memperoleh pahala sedikitpun dari hasil usaha
orang lain.
IBNU KATSIR
dalam Tafsirnya, TAFSIRUL QURANIL AZHIM mengatakan (dalam rangka menafsirkan
ayat 39 An-Najm):
“Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa
kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala
melainkan dari hasil amalnya sendiri, dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39
An-Najm), Imam As-Syafi’i radhiyallahu ta’ala anhu dan ulama-ulama yang
mengikutinya mengambil kesimpulan bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada
mayyit adalah tidak dapat sampai karena bukan dari hasil usahanya sendiri.
Oleh karena itu Rasulullah shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (mengirimkan pahala
bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan
isyarat, dan tidak ada seorang sahabat pun yang pernah mengamalkan perbuatan
tersebut. Kalau toh amalan semacam itu memang baik, tentu mereka
lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan qurban (mendekatkan diri kepada
Allah) hanya terbatas yang ada nash-nashnya (dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam) dan tidak boleh dipalingkan dengan
qiyas- qiyas dan pendapat-pendapat.
Demikian di antara berbagai pendapat para ulama Syafi’iyah
mengenai acara TAHLILAN atau acara pengiriman pahala bacaan kepada mayyit atau
roh, yang ternyata para ulama Syafi’iyah mempunyai satu pandangan, yaitu bahwa
mengirimkan pahala bacaan Qur’an kepada mayyit atau roh tidak akan sampai
kepada mayyit atau roh yang dikirimi. Terlebih lagi jika yang dibacakan adalah
bacaan lain selain Al-Qur’an,
tentu hal ini lebih tidak dapat sampai kepada mayyit yang
dikirimi.
Jika telah jelas bahwa pengiriman pahala tersebut tidak dapat sampai, maka acara yang seperti
itu adalah acara yang sia-sia atau dengan kata lain merupakan tabdzir, padahal Islam melarang umatnya dari perbuatan
yang sia-sia dan tabdzir.
Adapun dasar hukum dari pendapat para ulama Syafi’iyah adalah
firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat An-Najm ayat 39 dan hadits Nabi
Shollallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengenai terputusnya amal manusia apabila ia
telah meninggal dunia kecuali 3 hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak yang soleh, baik laki-laki maupun perempuan yang berdoa
untuk orang tuanya.
Kemudian bagaimana jika setelah tahlilan membaca doa: ALLAHUMMA
AUSHIL TSAWABA MAA WARAINAAHU ILA
RUHU FULAN (Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan kami tadi kepada roh Fulan)?
Pertanyaan ini dapat dijawab sebagai berikut:
Ulama telah sepakat bahwa pengiriman pahala bacaan itu tidak dapat
sampai kepada roh yang dikirimi sebab bertentangan dengan firman Allah ayat 39
An-Najm.
Adalah sangat janggal jika kita mengirimkan pahala bacaan kepada
mayyit yang jelas-jelas telah melanggar syariat-Nya, tetapi kemudian kita
memohon agar perbuatan yang melanggar syariat itu diberi pahala dan lebih dari
itu kita memohon lagi agar pahalanya dapat diberikan kepada roh Fulan dan
Fulan.
Sehingga sangat tidak logis jika kita berdoa seperti itu setelah
tahlilan dan tetap hal ini tidak dapat dibenarkan karena terjadi hal-hal yang
kontradiktif (bertentangan) yaitu di satu pihak doa adalah ibadah dan di pihak
lain amalan mengirim pahala bacaan merupakan amalan yang sia-sia yang melanggar
syariat yang kemudian dari amalan tersebut kita memohon agar diberi pahala dan
pahalanya disampaikan kepada roh.
Wallahu
Waliyuttaufiq
Tidak ada komentar:
Posting Komentar