بسم الله
الرحمن الرحيم
Puasa memiliki dua rukun yang paling asasi
yaitu :
ü
Niat
Allah 'Azza wa Jalla berfirman :
وَمَآ
أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ
وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ
ٱلۡقَيِّمَةِ
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya
mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
(QS. Al-Bayyinah : 5)
Rasulullah bersabda :
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
"Sesungguhnya hanyalah semua perbuatan itu
tergantung niat, dan seseorang tidaklah mendapatkan balasan kecuali sesuai
dengan apa yang dia niatkan" (HR. Bukhari dan Muslim).
Niat secara bahasa adalah al-qashdu/ القصد yakni : Tujuan
Adapun secara istilah bermakna :
"Keputusan hati untuk melakukan suatu jenis ibadah dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah"
Karena niat adalah keputusan hati, maka
para ulama menjelaskan kepada kita bahwa tempat niat adalah di hati tanpa harus
memberat-beratkan diri untuk mengucapkan lafadz niat di lisan. (Lihat Taudhihul
Ahkam dan Bahjatun Naazhirin).
Berkaitan dengan niat ini ada beberapa hal
yang harus diperhatikan, yaitu :
A. Waktu
Niat
Pertama: puasa wajib harus berniat pada malam hari
(sejak malam hari) sebelum terbit fajar shodiq, hal ini berdasarkan hadits :
مَنْ
لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
"Barangsiapa yang tidak (menetapkan) berniat
sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya"
(HR. Tirmidzi)
Berkata Imam Tirmidzi :
إِنَّمَا
مَعْنَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعْ
الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فِي رَمَضَانَ أَوْ فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ
أَوْ فِي صِيَامِ نَذْرٍ إِذَا لَمْ يَنْوِهِ مِنْ اللَّيْلِ لَمْ يُجْزِهِ
وَأَمَّا صِيَامُ التَّطَوُّعِ فَمُبَاحٌ لَهُ أَنْ يَنْوِيَهُ بَعْدَ مَا
أَصْبَحَ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَقَ
Maksud dari hadits ini menurut para ulama
ialah: "Barang siapa yang tidak niat sebelum terbitnya fajar di bulan
Ramadhan atau ketika mengqadha' puasa Ramadhan
atau ketika puasa nadzar, maka puasanyanya tidak sah. Adapun puasa sunnah, maka
boleh berniat sesudah terbitnya fajar. ini adalah pendapat Syafi'i, Ahmad dan
Ishaq.
Kedua : Puasa sunnah/ nafilah sah dilakukan
apabila berniat setelah siang hari atau setelah terbit fajar dengan syarat
apabila sebelumnya tidak melakukan hal-hal yang membatalkan
puasa. Aisyah radhiyallahu 'anha berkata :
قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ
فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ
Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bertanya kepadaku: "Wahai Aisyah, apakah kamu mempunyai
makanan?" Aisyah menjawab, "Tidak, ya Rasulullah." Beliau
bersabda: "Kalau begitu, aku akan berpuasa” (HR. Muslim, Abu Dawud dan
Tirmidzi).
B. Niat Untuk Setiap Hari
Yang rajih dalam masalah ini adalah wajib
berniat pada setiap hari secara terpisah pada hari -hari yang ia berpuasa padanya.
Artinya setiap malam pada Ramadhon seseorang yang hendak berpuasa, wajib
menetapkan niatnya, sehingga apabila salah satu dari hari puasanya rusak maka
tidak merusak puasa pada hari-hari yang lainnya. Dengan demikian maka tidak
dibenarkan jika seseorang pada hari yang pertama dari ramadhon dia berniat
untuk puasa sebulan penuh dan tidak lagi menetapkan niatnya pada malam-malam yang berikutnya.
ü
Al-Imsak/ Menahan Diri
Yang dimaksudkan adalah menahan diri dari
makan, minum, jimak dan hal-hal yang membatalkan puasa sejak dari terbitnya
fajar shadiq sampai terbenamnya matahari.
Allah berfirman :
أُحِلَّ
لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ
وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ كُنتُمۡ تَخۡتَانُونَ
أَنفُسَكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنكُمۡۖ فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ
وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ
لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ
أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ
عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ
كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan
isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian
bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu,
karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang
campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi)
janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah
larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
(QS. Al-Baqarah : 187)
Maka perlu diketahui bahwa fajar itu ada
dua, pertama dinamakan dengan fajar kadzib, nampak dilangit secara vertikal
memanjang kemudian diakhiri dengan gelap. Jika fajar yang seperti ini muncul
maka belum boleh melakukan sholat subuh karena belum waktu subuh dan bagi yang
mau berpuasa boleh untuk makan dan minum (sahur).
Adapun yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu
nampak diufuk dan sedikit demi sedikit menjadi semakin terang hingga tersebar
dilangit. Jika muncul fajar yang demikian sudah boleh melakukan sholat subuh
dan bagi yang mau berpuasa tidak boleh lagi makan dan minum (sahur). Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhu, ia berkata Rasulullah bersabda :
إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا
وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ثُمَّ قَالَ وَكَانَ رَجُلًا
أَعْمَى لَا يُنَادِي حَتَّى يُقَالَ لَهُ أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ
"Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan
saat masih malam, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu
Ummi Maktum." Perawi berkata, "Ibnu Ummu Maktum adalah seorang
sahabat yang buta, ia tidak akan mengumandangkan adzan (shubuh) hingga ada
orang yang mengatakan kepadanya, 'Sudah shubuh, sudah shubuh". (HR.
Bukhari 617, Muslim 1092)
Catatan :
Tidak dikenal dalam syari'at apa yang
dinamakan dengan waktu imsak yang dikenal oleh manusia dan mereka
meletakkannya dalam taqwim kalender digabungkan dengan jadwal sholat, demikian
juga dikenal dengan meriam imsak
semua ini adalah hal yang baru yang tidak
dikenal dalam syariat dan para sahabat pun tidak mengamalkannya. Ini semua tidak menghalangi dari makan
dan minum, karena yang menghalangi dari makan dan minum adalah fajar shadiq sebagaimana
ditetapkan oleh nash-nash yang ada baik dari al-qur'an dan as-sunnah.
Adapun apabila orang yang berpuasa makan
dalam keadaan dia menyangka telah terbenam matahari atau belum terbit fajar,
kemudian setelah dia makan barulah jelas baginya kondisi yang sesungguhnya,
bahwa belum terbenam matahari atau sudah terbit fajar maka yang rajih dari
pendapat para ulama adalah dia tidak wajib mengqadha puasa hari tersebut (puasanya
dianggap sah).
Allah Azza wa Jalla berfirman :
ٱدۡعُوهُمۡ
لِأٓبَآئِهِمۡ هُوَ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِۚ فَإِن لَّمۡ تَعۡلَمُوٓاْ
ءَابَآءَهُمۡ فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَمَوَٰلِيكُمۡۚ وَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ
جُنَاحٞ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡۚ
وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمًا
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai)
saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. Al-Ahzab : 5)
Asma binti Abu Bakar radhiyallahu 'anha
berkata :
أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ غَيْمٍ ثُمَّ طَلَعَتْ الشَّمْسُ
"Kami pernah berbuka puasa pada zaman Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam ketika hari mendung, ternyata kemudian matahari
tampak kembali" (HR. Bukhari: 1959)
Demikianlah beberapa hal yang dapat kami
sajikan pada kesempatan ini.
-Wallahu waliyut taufiq-
Oleh : Al – Ustadz
Junaid Ibrahim Iha Hafizhahullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar