Minggu, 05 Mei 2019

RUKUN PUASA



بسم الله الرحمن الرحيم

Puasa memiliki dua rukun yang paling asasi yaitu :

ü  Niat
Allah 'Azza wa Jalla berfirman :  

وَمَآ أُمِرُوٓاْ إِلَّا لِيَعۡبُدُواْ ٱللَّهَ مُخۡلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ حُنَفَآءَ وَيُقِيمُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤۡتُواْ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَٰلِكَ دِينُ ٱلۡقَيِّمَةِ 

Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan
shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.
(QS. Al-Bayyinah : 5)

Rasulullah bersabda :
  إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

"Sesungguhnya hanyalah semua perbuatan itu tergantung niat, dan seseorang tidaklah mendapatkan balasan kecuali sesuai dengan apa yang dia niatkan" (HR. Bukhari dan Muslim).


Niat secara bahasa adalah al-qashdu/ القصد   yakni : Tujuan
Adapun secara istilah bermakna : "Keputusan hati untuk melakukan suatu jenis ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah"

Karena niat adalah keputusan hati, maka para ulama menjelaskan kepada kita bahwa tempat niat adalah di hati tanpa harus memberat-beratkan diri untuk mengucapkan lafadz niat di lisan. (Lihat Taudhihul Ahkam dan Bahjatun Naazhirin).



Berkaitan dengan niat ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu :

A. Waktu Niat
Pertama: puasa wajib harus berniat pada malam hari (sejak malam hari) sebelum terbit fajar shodiq, hal ini berdasarkan hadits :
مَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
"Barangsiapa yang tidak (menetapkan) berniat sebelum fajar maka tidak ada puasa baginya"
(HR. Tirmidzi)

Berkata Imam Tirmidzi :

إِنَّمَا مَعْنَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لَا صِيَامَ لِمَنْ لَمْ يُجْمِعْ الصِّيَامَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فِي رَمَضَانَ أَوْ فِي قَضَاءِ رَمَضَانَ أَوْ فِي صِيَامِ نَذْرٍ إِذَا لَمْ يَنْوِهِ مِنْ اللَّيْلِ لَمْ يُجْزِهِ وَأَمَّا صِيَامُ التَّطَوُّعِ فَمُبَاحٌ لَهُ أَنْ يَنْوِيَهُ بَعْدَ مَا أَصْبَحَ وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ وَإِسْحَقَ

Maksud dari hadits ini menurut para ulama ialah: "Barang siapa yang tidak niat sebelum terbitnya fajar di bulan Ramadhan atau ketika mengqadha' puasa Ramadhan atau ketika puasa nadzar, maka puasanyanya tidak sah. Adapun puasa sunnah, maka boleh berniat sesudah terbitnya fajar. ini adalah pendapat Syafi'i, Ahmad dan Ishaq.

Kedua : Puasa sunnah/ nafilah sah dilakukan apabila berniat setelah siang hari atau setelah terbit fajar dengan syarat apabila sebelumnya tidak melakukan hal-hal yang membatalkan
puasa. Aisyah radhiyallahu 'anha berkata :

 قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ يَا عَائِشَةُ هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ قَالَتْ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا عِنْدَنَا شَيْءٌ قَالَ فَإِنِّي صَائِمٌ

Pada suatu hari, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya kepadaku: "Wahai Aisyah, apakah kamu mempunyai makanan?" Aisyah menjawab, "Tidak, ya Rasulullah." Beliau bersabda: "Kalau begitu, aku akan berpuasa” (HR. Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi).


B. Niat Untuk Setiap Hari

Yang rajih dalam masalah ini adalah wajib berniat pada setiap hari secara terpisah pada hari -hari yang ia berpuasa padanya. Artinya setiap malam pada Ramadhon seseorang yang hendak berpuasa, wajib menetapkan niatnya, sehingga apabila salah satu dari hari puasanya rusak maka tidak merusak puasa pada hari-hari yang lainnya. Dengan demikian maka tidak dibenarkan jika seseorang pada hari yang pertama dari ramadhon dia berniat untuk puasa sebulan penuh dan tidak lagi menetapkan niatnya pada malam-malam yang berikutnya.

ü  Al-Imsak/ Menahan Diri

Yang dimaksudkan adalah menahan diri dari makan, minum, jimak dan hal-hal yang membatalkan puasa sejak dari terbitnya fajar shadiq sampai terbenamnya matahari.

Allah berfirman :

أُحِلَّ لَكُمۡ لَيۡلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمۡۚ هُنَّ لِبَاسٞ لَّكُمۡ وَأَنتُمۡ لِبَاسٞ لَّهُنَّۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمۡ كُنتُمۡ تَخۡتَانُونَ أَنفُسَكُمۡ فَتَابَ عَلَيۡكُمۡ وَعَفَا عَنكُمۡۖ فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ ثُمَّ أَتِمُّواْ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيۡلِۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَٰكِفُونَ فِي ٱلۡمَسَٰجِدِۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَاۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ
 
Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
 (QS. Al-Baqarah : 187)

Maka perlu diketahui bahwa fajar itu ada dua, pertama dinamakan dengan fajar kadzib, nampak dilangit secara vertikal memanjang kemudian diakhiri dengan gelap. Jika fajar yang seperti ini muncul maka belum boleh melakukan sholat subuh karena belum waktu subuh dan bagi yang mau berpuasa boleh untuk makan dan minum (sahur).
 Adapun yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu nampak diufuk dan sedikit demi sedikit menjadi semakin terang hingga tersebar dilangit. Jika muncul fajar yang demikian sudah boleh melakukan sholat subuh dan bagi yang mau berpuasa tidak boleh lagi makan dan minum (sahur). Hal ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu, ia berkata Rasulullah bersabda :

 إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ ثُمَّ قَالَ وَكَانَ رَجُلًا أَعْمَى لَا يُنَادِي حَتَّى يُقَالَ لَهُ أَصْبَحْتَ أَصْبَحْتَ

 "Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan saat masih malam, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar adzan Ibnu Ummi Maktum." Perawi berkata, "Ibnu Ummu Maktum adalah seorang sahabat yang buta, ia tidak akan mengumandangkan adzan (shubuh) hingga ada orang yang mengatakan kepadanya, 'Sudah shubuh, sudah shubuh". (HR. Bukhari 617, Muslim 1092)

Catatan :

Tidak dikenal dalam syari'at apa yang dinamakan dengan waktu imsak yang dikenal oleh manusia dan mereka meletakkannya dalam taqwim kalender digabungkan dengan jadwal sholat, demikian juga dikenal dengan meriam imsak
semua ini adalah hal yang baru yang tidak dikenal dalam syariat dan para sahabat pun tidak mengamalkannya. Ini semua tidak menghalangi dari makan dan minum, karena yang menghalangi dari makan dan minum adalah fajar shadiq sebagaimana ditetapkan oleh nash-nash yang ada baik dari al-qur'an dan as-sunnah.

Adapun apabila orang yang berpuasa makan dalam keadaan dia menyangka telah terbenam matahari atau belum terbit fajar, kemudian setelah dia makan barulah jelas baginya kondisi yang sesungguhnya, bahwa belum terbenam matahari atau sudah terbit fajar maka yang rajih dari pendapat para ulama adalah dia tidak wajib mengqadha puasa hari tersebut (puasanya dianggap sah).


Allah Azza wa Jalla berfirman :

ٱدۡعُوهُمۡ لِأٓبَآئِهِمۡ هُوَ أَقۡسَطُ عِندَ ٱللَّهِۚ فَإِن لَّمۡ تَعۡلَمُوٓاْ ءَابَآءَهُمۡ فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِي ٱلدِّينِ وَمَوَٰلِيكُمۡۚ وَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٞ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡۚ وَكَانَ ٱللَّهُ غَفُورٗا رَّحِيمًا 
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
 (QS. Al-Ahzab : 5)

Asma binti Abu Bakar radhiyallahu 'anha berkata :

 أَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ غَيْمٍ ثُمَّ طَلَعَتْ الشَّمْسُ

"Kami pernah berbuka puasa pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika hari mendung, ternyata kemudian matahari tampak kembali" (HR. Bukhari: 1959)

Demikianlah beberapa hal yang dapat kami sajikan pada kesempatan ini.

-Wallahu waliyut taufiq-

Oleh : Al – Ustadz Junaid Ibrahim Iha Hafizhahullah





Tidak ada komentar:

Posting Komentar