بسم الله الرحمن الرحيم
Diantara sikap cerdas
dan pandainya seseorang dalam bergaul dengan kehidupan dunianya adalah pandai
memanfaatkan waktu. Orang yang pandai memanfaatkan waktu akan menuai
hasil yang baik dan tidak mudah larut dalam perkara yang sia-sia tanpa ada
faedah. Untuk itu berikut ini kami nukilkan beberapa keterangan yang terkait
dengan masalah ini.
Rasulullah shalallahu
'alaihi wa sallam bersabda :
مِنْ حُسْنِ
إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ. (حَدِيْثٌ حَسَنٌ, رَوَاهُ التِّرْمِذِي
وَغَيْرُهُ هَكَذَا)
“Di antara tanda
kebaikan keIslaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2318 dan
yang lainnya)
- Derajat Hadits:
Derajat hadits ini
adalah hasan lighairihi (Syarh al-Arbain an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu
Syaikh, hal: 80). Sebab meskipun hadits ini menurut ulama ahli ‘ilal (Antara
lain Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan lain-lain) adalah mursal (Jami’
al-ulum wa al-Hikam, oleh Ibn Rajab, hal 207), akan tetapi ia memiliki syawahid
yang cukup banyak dengan redaksi yang
semisal, sehingga menguatkannya dan menjadikannya hasan lighairihi
(Lihat takhrij hadits ini dalam Shahih Kitab al-Adzkar wa Dha’ifuhu, 1013/774,
1130/884, 1244/978. Dinukil dari Iqadzu al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al Ulum
wa al-Hikam, oleh Syaikh Salim al-Hilaly, hal 172)
- Biografi Singkat
Perawi :
Hadits ini
diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Abu
Hurairah bernama Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausy, berasal dari negeri Yaman.
Beliau merupakan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling banyak
meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits
musnad yang beliau riwayatkan sebanyak 5374 hadits. (Lihat: Tahdzib al-Kamal fi
Asma’ ar-Rijal, oleh al-Mizzy, no: 8276, dan Siyar A’lam an-Nubala’, oleh
adz-Dzahaby, II/578-632)
Banyaknya hadits yang
beliau riwayatkan membuat orang-orang orientalis dan antek-anteknya merasa
berkepentingan untuk menjatuhkan kedudukan beliau, dengan tujuan agar kaum
muslimin kehilangan sebagian besar tuntunan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Akan tetapi ulama kita bahu-membahu dalam membantah tuduhan-tuduhan
keji mereka, serta menyapu bersih syubhat-syubhat yang mereka lontarkan.
Di antara buku-buku
yang ditulis dalam hal ini adalah: Al-Anwar al-Kasyifah fi Kitab Adhwa’ ‘ala
as-Sunnah min az-Zalal wa at-Tadhlil wa al-Mujazafah (Cahaya yang menyingkap
kesalahan, penyesatan dan sikap serampangan dalam kitab Adhwa’ ‘ala as-Sunnah),
yang ditulis oleh salah satu ulama besar negeri Yaman; al-‘Allamah Abdurrahman
bin Yahya al-Mu’allimy (1313-1386 H). Pada tahun 57 H. Abu Hurairah meninggal
dunia, dalam usia 78 tahun.
- Kedudukan Hadits
Ini:
Hadits ini merupakan
salah satu dasar pokok bidang akhlak dalam agama Islam. Imam Ibnu Abi Zaid
al-Qairawany menerangkan, “Adab-adab kebaikan terhimpun dan bersumber dari 4
hadits: hadits “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaknya berkata baik atau diam”, hadits “Salah satu pertanda kebaikan Islam
seseorang, jika ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya”, hadits
“Janganlah engkau marah”, dan hadits “Seorang mu’min mencintai kebaikan untuk
saudaranya, sebagaimana ia mencintai kebaikan tersebut bagi dirinya sendiri”
(Jami’ al-Ulum wa Al-Hikam, hal 208).
- Penjelasan Hadits :
« مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ
يَعْنِيْهِ »
“Di antara tanda
kebaikan keislaman seseorang; jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat baginya.”
“Min husni islamil
mar’i” i’rabnya adalah khabar yang didahulukan. Sedangkan “Tarku” adalah
mubtada’ yang diakhirkan (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad
bin Shalih al-Utsaimin, hal 181)
Huruf min dalam
hadits ini jenisnya tab’idhiyyah (sebagian). Jadi makna hadits ini adalah:
meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat, merupakan sebagian dari
hal-hal yang bisa mendatangkan baiknya keislaman seseorang (Jami’ al-‘Ulum,
hal 208)
* Kapankah keislaman
seseorang dianggap baik? Para ulama berbeda pendapat:
1. Sebagian memandang
bahwa kebaikan Islam seseorang dicapai dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban
dan menjauhi larangan-larangan. Dan ini adalah tingkatan golongan yang
pertengahan, yang disitir oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ
“Kemudian kitab itu
kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami,
lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, di antara mereka
ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat
kebaikan dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32)
Orang yang baik
keislamannya adalah golongan pertengahan yang mengerjakan kewajiban-kewajiban
dan sebagian yang sunnah, serta meninggalkan semua hal-hal yang
diharamkan.
2. Pendapat kedua
mengatakan: Kebaikan Islam seseorang artinya: jika ia telah mencapai tingkatan
ihsan yang disebutkan dalam hadits,
قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ: «أَنْ
تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ, فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ»
Jibril bertanya
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah ihsan itu?” Beliau
menjawab: “Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.
Seandainya engkau tidak mampu, ketahuilah bahwasanya Dia itu melihatmu.” (HR.
Muslim no: 93)
3. Pendapat ketiga
memandang bahwa kebaikan keislaman itu bertingkat-tingkat, masing-masing orang
berbeda-beda tingkatannya. Besarnya pahala dan keutamaan seseorang tergantung
tingkatan kebaikan keislaman dia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
« إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ
يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ »
“Jika Islam salah
seorang dari kalian baik, maka setiap amal kebaikan yang ia lakukan akan
dicatat (pahalanya) sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat.” (HR.
Bukhari no: 42)
Keterangan para ulama
ahli penelitian (tahqiq) mengatakan bahwa kebaikan keislaman itu
bertingkat-tingkat, tidak hanya satu level saja (menguatkan pendapat ketiga).
Perlu diketahui bahwa
agama Islam telah menghimpun segala macam bentuk kebaikan. Para ulama banyak
menaruh perhatian dalam pembahasan ini, diantaranya Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As Sa’dy rahimahullah pernah mengarang buku dengan judul: “Mahasin
al-Islam” (Keindahan-keindahan Agama Islam), demikian pula Syaikh Abdul Aziz
bin Muhammad bin Salman mempunyai tulisan tentang pembahasan ini. Dan perlu
dipahami bahwa seluruh kebaikan ajaran Islam telah terhimpun dalam dua kata
yang disebutkan Allah dalam surat An Nahl ayat 90:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah
menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-Nahl: 90) (Lihat
Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal
158)
Al-‘Inayah secara
etimologi berarti: perhatian yang sangat terhadap sesuatu, atau suatu hal
penting yang diperhatikan. Jadi maksud dari “maa laa ya’niih” adalah sesuatu
yang tidak bermanfaat bagi pemerhatinya dan tidak ada maslahat baginya (Syarh
al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal: 78)
Sesuatu yang tidak
bermanfaat bagi seorang muslim, bisa berbentuk perkataan bisa juga berbentuk
perbuatan. Jadi setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya baik
itu untuk kepentingan ukhrawi seorang muslim ataupun untuk kepentingan
duniawinya, seharusnya dia tinggalkan agar keislamannya menjadi baik (Lihat:
Syarh al-Arba’in Haditsan an-Nawawiyah, oleh Imam Nawawi hal: 40)
* Bagaimana kita bisa
mengetahui apakah sesuatu itu termasuk bermanfaat bagi kita atau tidak? Apakah
standar dan patokan yang kita gunakan untuk menentukan suatu perbuatan itu
termasuk bermanfaat bagi seorang muslim atau tidak?
Ketahuilah bahwa
standar yang harus kita gunakan dalam masalah ini adalah syariat dan bukan hawa
nafsu, prasangka ataupun yang semisalnya. Mengapa? Karena Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam menjadikan “meninggalkan suatu hal yang tidak bermanfaat”
sebagai tanda dari kebaikan keislaman seseorang. Ini menunjukkan bahwa patokan
yang harus kita gunakan dalam menilai
bermanfaat tidaknya suatu perbuatan adalah syariat Islam bukan tampilan zhohir
atau yang lainnya.
Hal ini perlu ditekankan karena banyak orang
yang salah paham dalam memahami hadits ini, sehingga dia meninggalkan hal-hal
yang diwajibkan syariat atau disunahkan, dengan alasan bahwa hal-hal itu tidak
bermanfaat baginya (Qawa’id wa Fawaid min al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Nadzim
Sulthan, hal: 123, dan Bahjah an- Nadzirin Syarh Riyadh ash-Shalihin, oleh
Salim al-Hilaly I/142). Insya Allah di akhir penjelasan hadits akan kita
bawakan contoh dari kesalahpahaman tersebut.
- contoh hal-hal yang
tidak bermanfaat bagi seorang muslim, antara lain:
1. Maksiat atau
hal-hal yang diharamkan oleh Allah ta’ala. Dan ini hukumnya wajib untuk
ditinggalkan oleh setiap manusia (Bahjah al-Qulub al-Abrar wa Qurrat ‘Uyun
al-Akhbar fi Syarh Jawami’ al-Akhbar, oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy, hal:
137). Karena dia bukan hanya tidak bermanfaat, tapi juga membahayakan diri
sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.
Di antara bahaya yang
ditimbulkan maksiat di dunia adalah: mengerasnya hati dan menghitam, hingga
cahaya yang ada di dalamnya padam. Akibatnya, dia pun menjadi buta jadi tidak
bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil (Lihat: Badai’ at-Tafsir
al-Jami’ li Tafsiri Ibn al-Qayyim, oleh Yusri as-Sayyid Muhammad, V/153-155,
dan Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, oleh Syaikh
Abdurrahman as-Sa’dy, hal 916). Akibat buruk ini telah dijelaskan oleh Nabi
kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,
« إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نُكْتَتُ
فِي قَلْبِهِ نُكْتَةً سَوْدَاءَ, فَإِنْ هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صَقلَ قَلْبُهُ,
وَإِنْ زَادَ زِيْدَ فِيْهَا حَتَّى تَعْلُو قَلْبُهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ
اللهُ كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ.»
“Jika seorang hamba
berbuat sebuah dosa, maka akan ditorehkan sebuah noktah hitam di dalam hatinya.
Tapi jika ia meninggalkannya dan beristigfar niscaya hatinya akan dibersihkan
dari noktah hitam itu. Sebaliknya jika ia terus berbuat dosa, noktah-noktah hitam
akan terus bertambah hingga menutup hatinya.
Itulah dinding penutup yang Allah sebutkan
dalam ayat (Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka
kerjakan itu menutup hati mereka)” (QS.al-Muthaffifin: 14) (HR Tirmidzi dan Ibn
Majah serta dihasankan oleh Syaikh Al Albani). Adapun di akhirat, maka orang
yang gemar berbuat maksiat, diancam oleh Allah untuk dimasukkan ke dalam
neraka, na’udzubillah min dzalik.
2. Hal-hal yang
dimakruhkan dalam agama kita, juga berlebih-lebihan dalam mengerjakan hal-hal
yang diperbolehkan agama, yang sama sekali tidak mengandung manfaat, malah
justru terkadang menghalangi seseorang dari berbuat amal kebajikan (Bahjah
al-Qulub al-Abrar, hal: 137, lihat pula: Syarh al-Arbain oleh Syaikh Shalih Alu
Syaikh, hal: 80).
Di antara yang harus mendapat porsi terbesar
dari perhatian kita adalah masalah lisan. Imam an-Nawawi menasihatkan,
“Ketahuilah, seyogianya setiap muslim berusaha untuk selalu menjaga lisannya
dari segala macam bentuk ucapan, kecuali ucapan yang mengandung maslahat.
Jikalau dalam suatu ucapan, maslahat untuk mengucapkannya dan maslahat untuk
meninggalkannya adalah sebanding, maka yang disunnahkan adalah meninggalkan
ucapan tersebut.
Sebab perkataan yang
diperbolehkan terkadang membawa kepada perkataan yang diharamkan atau yang
dimakruhkan. Dan hal itu sering sekali terjadi. Padahal keselamatan (dari
hal-hal yang diharamkan atau dimakruhkan) adalah sebuah (mutiara) yang tidak
ternilai harganya.” (Riyadh ash-Shalihin, hal: 483)
Pengalaman membuktikan
bahwa perkataan yang baik, indah dan yang telah dipertimbangkan secara bijak,
atau mencukupkan diri dengan diam, akan mendatangkan kewibawaan dan kedudukan
dalam kepribadian seorang muslim. Sebaliknya, banyak bicara dan gemar ikut
campur perkara yang tidak bermanfaat, akan menodai kepribadian seorang muslim,
mengurangi kewibawaan dan menjatuhkan kedudukannya di mata orang lain (Qawa’id
wa Fawaid, hal: 123)
Imam Ibnu Hibban
berkata: “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua
telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua
buah, sedangkan diberi mulut hanya satu; adalah supaya dia lebih banyak
mendengar daripada berbicara.
Sering kali seseorang
menyesal di kemudian hari akibat perkataan yang ia ucapkan, sementara diamnya
dia tidak akan pernah membawa penyesalan. (Perlu diketahui pula) bahwa menarik
diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah daripada mencabut
perkataan yang telah terlanjur diucapkan.
Karena biasanya jika
seseorang tengah berbicara, maka kata-katanyalah yang akan menguasai dirinya,
sebaliknya jika tidak berbicara, maka ia mampu untuk mengontrol kata-katanya
(Raudhah al-‘Uqala wa Nuzhah al-Fudhala, hal: 45, dinukil dari Rifqan Ahl
as-Sunnah bi Ahl as-Sunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, oleh Syaikh
Abdul Muhsin al-‘Abbad hafidzhahullah, hal 31)
Banyak orang
meremehkan perkataan-perkataan yang terlepas dari lisannya, serta tidak
mempedulikan dampak baik buruknya. Padahal jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memperingatkan,
« إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا
يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا , يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدُ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ
وَالْمَغْرِبِ »
“Seringkali seorang
hamba mengucapkan suatu perkataan yang tidak ia pikirkan dampaknya, padahal
ternyata perkataan itu akan menjerumuskannya ke neraka yang dalamnya lebih jauh
dari jarak timur dengan barat” ( HR. Bukhari, no: 6477, dan Muslim, no: 7407)
Penutup :
- Jangan sekali-kali
kita beranggapan bahwa kebenaran atau kebaikan itu diukur dari tampilan zhohir
seseorang, terlebih lagi jika standar mengukur kebaikan dan kebenaran itu pada
jumlah mayoritas. Allah Ta'ala berfirman :
وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ ۖ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ ۖ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ ۚ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۖ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ
"Dan apabila
kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka
berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang
tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada
mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka;
semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari
kebenaran)?" (Qs. Al-Munafiqun : 4)
Ayat ini menunjukan
bahwa indahnya kata-kata dan bagusnya penampilan bukanlah
patokan dalam menilai kebenaran.
- Janganlah
sekali-kali kita menilai kebenaran dari jumlah mayoritas. Allah Ta'ala
berfirman :
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
"Dan jika kamu
menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap
Allah)". (Qs. Al-An'am : 116)
- Banyaknya harta dan
kekayaan bukanlah ukuran dalam menilai kebenaran. Allah Ta'ala berfirman :
وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَىٰ إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ آمِنُونَ
"Dan sekali-kali
bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada
Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal
saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa
yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi
(dalam surga)". (Qs. Saba':37)
- Kesalahan sebagian
orang yang berpendapat bahwa yang penting hatinya baik walaupun tidak beramal
adalah patokan untuk menilai suatu kebaikan ataupun kebenaran. Tentu pendapat
ini adalah keliru, sebab rasulullah menyebutkan baiknya hati harus diiringi
dengan baiknya amal. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ
وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ
"Sesungguhnya
Allah tidak melihat pada rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat pada
hati dan amal kalian." (HR Muslim)
Demikianlah yang
dapat dinukilkan pada kajian kali ini.
Wallahu waliyut
taufiq
Oleh : Al- Ustadz Junaid Ibrahim Iha hafizhahullah