Kamis, 25 April 2019

Kajian Hadits



- Berkata al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari dalam shohihnya:

حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ صُهَيْبٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ:

Telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar telah menceritakan kepada kami 'Abdul Warits telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin Shuhaib dari Anas bin Malik radhiallahu 'anhu berkata:

دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا حَبْلٌ مَمْدُودٌ بَيْنَ السَّارِيَتَيْنِ فَقَالَ مَا هَذَا الْحَبْلُ قَالُوا هَذَا حَبْلٌ لِزَيْنَبَ فَإِذَا فَتَرَتْ تَعَلَّقَتْ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا حَلُّوهُ لِيُصَلِّ أَحَدُكُمْ نَشَاطَهُ فَإِذَا فَتَرَ فَلْيَقْعُدْ

 "Pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masuk (ke masjid), kemudian Beliau mendapati tali yang diikatkan diantara dua tiang. Kemudian Beliau bertanya: "Apa ini?" Orang-orang menjawab: "Tali ini milik Zainab, bila dia shalat dengan berdiri lalu merasa letih, dia berpegangan pada tali tersebut". Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jangan lakukan demikian, lepaskan tali ini. Hendaklah seseorang dari kalian menegakkan shalat dalam keadaan giat/semangat, dan apabila dia merasa letih, hendaklah dia tidur".

# Penjelasan Umum:
Di dalam hadits ini terdapat dalil tentang tidak semestinya seorang hamba terlalu berdalam dan berlebihan dalam melakukan ibadah. Ia memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang tidak mampu ia lakukan. (Lihat Syarh Riyadhus Sholihin oleh syaekh Ibnu Utsaimin rahimahullah)

# Faedah Singkat:

1. Hendaklah seorang muslim bersederhana dalam menjalankan ibadah walaupun dalam perkara sholat, sebab yang demikian merupakan sunnah Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana dipersaksikan oleh sahabat Jabir bin Samurah radhiallahu 'anhu, ia berkata:

كُنْتُ أُصَلِّي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَانَتْ صَلَاتُهُ قَصْدًا وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا

 "Aku pernah sholat bersama Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, dan sholat beliau sederhana (tidak terlalu panjang dan tidak terlalu singkat), demikian pula khutbah beliau." (HR. Muslim)

2. Agama islam adalah ajaran yang diturunkan dari sisi Allah, yang telah menciptakan langit dan bumi serta seisinya. Sehingga Allah adalah Dzat Yang Maha Mengetahui sebatas mana kemampuan, kesanggupan dan kekuatan manusia. Sebab itu Allah menetapkan syari'at yang sesuai dengan kemampuan mereka. Allah Ta'ala berfirman
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya."
 (Qs.  Al-Baqarah: 286)

Sehingga barangsiapa yang menjalani agamanya dengan sikap berlebihan atau sebaliknya meremehkan apa yang disyari'atkan maka sungguh dia telah keluar dari hikmah yang Allah tetapkan dan terhitung sebagai suatu bentuk kebinasaan dan kecelakaan.

3. Dalam usaha menyesatkan manusia, setan tidak hanya menyerang mereka dari sisi kemaksiatan namun juga menyerang mereka dari sisi giatnya ibadah yaitu dengan membuka dua pintu yang berbahaya bagi mereka. Pintu tersebut adalah ghuluw yang secara bahasa bermakna melampaui batas, dan tafrith yang bermakna meremehkan.

- Allah Ta'ala berfirman

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ

"Katakanlah (Muhammad), “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti keinginan orang-orang yang telah tersesat dahulu dan (telah) menyesatkan banyak (manusia), dan mereka sendiri tersesat dari jalan yang lurus.” (Qs. Al-Ma'idah: 77)

يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ

"Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar." (Qs. An-Nisa': 171)

- Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَ الْغُلُوْ فِي الدِّيْنِ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّيْنِ

"Waspadalah dan berhati-hatilah kalian dari sikap ghuluw dalam beragama. Karena sesungguhnya kehancuran umat-umat sebelum kalian disebabkan ghuluw (yang mereka perbuat) di dalam beragama." (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan al-Hakim. Ditkhrij oleh syaekh Albani dalam Ash-Shohihah no 1238)

- Imam Hasan al-Bashri berkata:

"Demi Dzat yang tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Dia, menegakkan As-Sunnah itu berada diantara dua kelompok. (Kelompok) yang ghuluw dan (kelompok) yang bersikap meremehkan. Maka bersabarlah kalian dalam mengamalkan As-Sunnah, semoga Allah merahmati kalian. Sesungguhnya pada waktu yang lalu Ahlus Sunnah adalah golongan yang paling sedikit jumlahnya. Maka demikian pula pada waktu yang akan datang, mereka adalah golongan yang paling sedikit jumlahnya. Ahlus Sunnah adalah orang-orang yang tidak mengikuti kemewahan manusia dan tidak pula mengikuti kebid'ahan mereka." (Syarah Ath-Thahawiyyah 2/326)

- Dari Sahl bin Hunaif radhiallahu 'anhu, ia berkata Rasululahu shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لاَ تُشَدِّدُوا عَلى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ قَبْلَكُمْ بِتَشْدِيْدِهِمْ عَلى أنْفُسِهِمْ وَ سَتَجِدُوْنَ بَقَايَاهُمْ فِي الصَّوَامِعِ وَ الدِّيَارَاتِ

"Janganlah kalian memberat-beratkan diri kalian. Karena sesungguhnya kehancuran orang-orang sebelum kalian hanyalah disebabkan mereka memberat-beratkan diri. Dan kalian akan menemukan sisa-sisa mereka dalam pertapaan dan biara." (HR. Bukhari dalam At-Tarikh. Lihat silsilah Ash-Shahihah no 3124)

Wallahu waliyut taufiq

Oleh : Al – Ustadz Junaid Ibrahim Iha Hafizhahullah




Selasa, 23 April 2019

"Hukum Mengusap Wajah Setelah Berdo'a"




بسم الله الرحمن الرحيم

Diantara kebiasaan yang tersebar ditengah kebanyakan manusia adalah mengusap wajah setelah berdo'a. Ini adalah kebiasaan yang tidak ada asalnya dari sunnah.

Syaekh Al-Albani rahimahullah berkata :

 وأما مَسْحُ الوجه بهما، فلم يَرِد في هذا الموطن، فهو بدعة، وأما خارج الصلاة، فلم يَصِح، وكل ما رُوِي في ذلك ضعيف، وبعضه أشدُّ ضَعْفًا من بعض؛ كما حقَّقته في "ضعيف أبي داود" (262)، و"الأحاديث الصحيحة" (597)

"Adapun mengusap wajah dengan kedua telapak tangan (setelah berdo'a dalam sholat) adalah amalan yang tidak datang dalam sunnah dan dia adalah bid'ah. Adapun diluar sholat adalah tidak ada riwayat yang shohih, semua yang diriwayatkan dalam hal ini adalah dho'if, sebagian lebih parah kedho'ifannya dari sebagian yang lain sebagaimana yang telah ku terangkan dalam Dho'if Abu Dawud : 262, dan silsilah hadits Shohih : 597 ."

Berkata al-imam Al-Izz bin Abdussalam dalam sebagian fatwanya :

ولا يَمسح وجهه بيديه عَقِبَ الدعاء إلا جاهل؛ صفة صلاة النبي - صلى الله عليه وسلم - ص 141.

"Tidaklah mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya setelah berdo'a kecuali orang yang jahil." (Sifat Sholat Nabi, Hal 141. Dengan sedikit perubahan)




Berkata al-imam Al-Baihaqi dalam sunannya :

فأمَّا مَسْحُ اليدين بالوجْه عند الفراغ من الدعاء، فلستُ أحفظُه عن أحدٍ من السلف

"Adapun mengusap kedua tangan ke wajah setelah selesai berdo'a maka aku tidak menghafal perkara tersebut dari seorang salafpun." (Sunan Al-Baihaqi 2/212)

Wallahu waliyut taufiq

Oleh : Al- Ustadz Junaid Ibrahim Iha Hafizhahullah


Minggu, 21 April 2019

"Perlombaan Para Shahabat Nabi dalam melakukan Amal Sholih"

"Perlombaan Para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam dalam melakukan Amal Sholih"

Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, berkata:

أَنَّ فُقَرَاءَ الْمُهَاجِرِينَ أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَى وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ فَقَالَ وَمَا ذَاكَ قَالُوا يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ وَلَا نَتَصَدَّقُ وَيُعْتِقُونَ وَلَا نُعْتِقُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَلَا أُعَلِّمُكُمْ شَيْئًا تُدْرِكُونَ بِهِ مَنْ سَبَقَكُمْ وَتَسْبِقُونَ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ وَلَا يَكُونُ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِنْكُمْ إِلَّا مَنْ صَنَعَ مِثْلَ مَا صَنَعْتُمْ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ تُسَبِّحُونَ وَتُكَبِّرُونَ وَتَحْمَدُونَ دُبُرَ كُلِّ صَلَاةٍ ثَلَاثًا وَثَلَاثِينَ مَرَّةً
قَالَ أَبُو صَالِحٍ فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الْأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِهِ مَنْ يَشَاءُ

"Bahwa orang-orang fakir Muhajirin menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam sambil berkata; "Orang-orang kaya telah memborong derajat-derajat ketinggian dan kenikmatan yang abadi."

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bertanya: "Maksud kalian?"

Mereka menjawab: "Orang-orang kaya shalat sebagaimana kami shalat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bersedekah dan kami tidak bisa melakukannya, mereka bisa membebaskan tawanan dan kami tidak bisa melakukannya."

Maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda: "Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang karenanya kalian bisa menyusul orang-orang yang mendahului kebaikan kalian, dan kalian bisa mendahului kebaikan orang-orang sesudah kalian, dan tak seorang pun lebih utama daripada kalian selain yang berbuat seperti yang kalian lakukan?"

Mereka menjawab; "Baiklah wahai Rasulullah!"

Beliau bersabda: "Kalian bertasbih, bertakbir, dan bertahmid setiap selesai shalat sebanyak tiga puluh tiga kali."

Abu shalih berkata; "Tidak lama kemudian para fuqara' Muhajirin kembali kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam dan berkata; "Ternyata teman-teman kami yang banyak harta telah mendengar yang kami kerjakan, lalu mereka mengerjakan seperti itu!"

Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda: "Itu adalah keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya." (HR. Muslim)

✍ Al- Ustadz Junaid Ibrahim Iha Hafizhahullah




Minggu, 14 April 2019

"Jauhilah Perkara yang Tidak Bermanfaat"




بسم الله الرحمن الرحيم

Diantara sikap cerdas dan pandainya seseorang dalam bergaul dengan kehidupan dunianya adalah pandai memanfaatkan waktu. Orang yang pandai memanfaatkan waktu akan menuai hasil yang baik dan tidak mudah larut dalam perkara yang sia-sia tanpa ada faedah. Untuk itu berikut ini kami nukilkan beberapa keterangan yang terkait dengan masalah ini.

Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

 مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ. (حَدِيْثٌ حَسَنٌ, رَوَاهُ التِّرْمِذِي وَغَيْرُهُ هَكَذَا)

“Di antara tanda kebaikan keIslaman seseorang: jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2318 dan yang lainnya)

- Derajat Hadits:

Derajat hadits ini adalah hasan lighairihi (Syarh al-Arbain an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal: 80). Sebab meskipun hadits ini menurut ulama ahli ‘ilal (Antara lain Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma’in dan lain-lain) adalah mursal (Jami’ al-ulum wa al-Hikam, oleh Ibn Rajab, hal 207), akan tetapi ia memiliki syawahid yang cukup banyak dengan redaksi yang  semisal, sehingga menguatkannya dan menjadikannya hasan lighairihi (Lihat takhrij hadits ini dalam Shahih Kitab al-Adzkar wa Dha’ifuhu, 1013/774, 1130/884, 1244/978. Dinukil dari Iqadzu al-Himam al-Muntaqa min Jami’ al Ulum wa al-Hikam, oleh Syaikh Salim al-Hilaly, hal 172)

- Biografi Singkat Perawi :

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah dari nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Abu Hurairah bernama Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausy, berasal dari negeri Yaman. Beliau merupakan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang paling banyak meriwayatkan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits-hadits musnad yang beliau riwayatkan sebanyak 5374 hadits. (Lihat: Tahdzib al-Kamal fi Asma’ ar-Rijal, oleh al-Mizzy, no: 8276, dan Siyar A’lam an-Nubala’, oleh adz-Dzahaby, II/578-632)

Banyaknya hadits yang beliau riwayatkan membuat orang-orang orientalis dan antek-anteknya merasa berkepentingan untuk menjatuhkan kedudukan beliau, dengan tujuan agar kaum muslimin kehilangan sebagian besar tuntunan Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi ulama kita bahu-membahu dalam membantah tuduhan-tuduhan keji mereka, serta menyapu bersih syubhat-syubhat yang mereka lontarkan.

Di antara buku-buku yang ditulis dalam hal ini adalah: Al-Anwar al-Kasyifah fi Kitab Adhwa’ ‘ala as-Sunnah min az-Zalal wa at-Tadhlil wa al-Mujazafah (Cahaya yang menyingkap kesalahan, penyesatan dan sikap serampangan dalam kitab Adhwa’ ‘ala as-Sunnah), yang ditulis oleh salah satu ulama besar negeri Yaman; al-‘Allamah Abdurrahman bin Yahya al-Mu’allimy (1313-1386 H). Pada tahun 57 H. Abu Hurairah meninggal dunia, dalam usia 78 tahun.

- Kedudukan Hadits Ini:

Hadits ini merupakan salah satu dasar pokok bidang akhlak dalam agama Islam. Imam Ibnu Abi Zaid al-Qairawany menerangkan, “Adab-adab kebaikan terhimpun dan bersumber dari 4 hadits: hadits “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya berkata baik atau diam”, hadits “Salah satu pertanda kebaikan Islam seseorang, jika ia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya”, hadits “Janganlah engkau marah”, dan hadits “Seorang mu’min mencintai kebaikan untuk saudaranya, sebagaimana ia mencintai kebaikan tersebut bagi dirinya sendiri” (Jami’ al-Ulum wa Al-Hikam, hal 208).

- Penjelasan Hadits :

« مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ »

“Di antara tanda kebaikan keislaman seseorang; jika dia meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya.”

“Min husni islamil mar’i” i’rabnya adalah khabar yang didahulukan. Sedangkan “Tarku” adalah mubtada’ yang diakhirkan (Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal 181)

Huruf min dalam hadits ini jenisnya tab’idhiyyah (sebagian). Jadi makna hadits ini adalah: meninggalkan perkara-perkara yang tidak bermanfaat, merupakan sebagian dari hal-hal yang bisa mendatangkan baiknya keislaman seseorang (Jami’ al-‘Ulum, hal  208)


* Kapankah keislaman seseorang dianggap baik? Para ulama berbeda pendapat:

1. Sebagian memandang bahwa kebaikan Islam seseorang dicapai dengan mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi larangan-larangan. Dan ini adalah tingkatan golongan yang pertengahan, yang disitir oleh Allah ta’ala dalam firman-Nya,

ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ

“Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri, di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah.” (QS. Fathir: 32)

Orang yang baik keislamannya adalah golongan pertengahan yang mengerjakan kewajiban-kewajiban dan sebagian yang sunnah, serta meninggalkan semua hal-hal yang diharamkan.

2. Pendapat kedua mengatakan: Kebaikan Islam seseorang artinya: jika ia telah mencapai tingkatan ihsan yang disebutkan dalam hadits,

قَالَ: فَأَخْبِرْنِي عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ: «أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ, فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ»

Jibril bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apakah ihsan itu?” Beliau menjawab: “Kamu beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Seandainya engkau tidak mampu, ketahuilah bahwasanya Dia itu melihatmu.” (HR. Muslim no: 93)

3. Pendapat ketiga memandang bahwa kebaikan keislaman itu bertingkat-tingkat, masing-masing orang berbeda-beda tingkatannya. Besarnya pahala dan keutamaan seseorang tergantung tingkatan kebaikan keislaman dia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« إِذَا أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ إِسْلاَمَهُ فَكُلُّ حَسَنَةٍ يَعْمَلُهَا تُكْتَبُ لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ »

“Jika Islam salah seorang dari kalian baik, maka setiap amal kebaikan yang ia lakukan akan dicatat (pahalanya) sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus kali lipat.” (HR. Bukhari no: 42)

Keterangan para ulama ahli penelitian (tahqiq) mengatakan bahwa kebaikan keislaman itu bertingkat-tingkat, tidak hanya satu level saja (menguatkan pendapat ketiga).

Perlu diketahui bahwa agama Islam telah menghimpun segala macam bentuk kebaikan. Para ulama banyak menaruh perhatian dalam pembahasan ini, diantaranya Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’dy rahimahullah pernah mengarang buku dengan judul: “Mahasin al-Islam” (Keindahan-keindahan Agama Islam), demikian pula Syaikh Abdul Aziz bin Muhammad bin Salman mempunyai tulisan tentang pembahasan ini. Dan perlu dipahami bahwa seluruh kebaikan ajaran Islam telah terhimpun dalam dua kata yang disebutkan Allah dalam surat An Nahl ayat 90:

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالإِحْسَانِ

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kalian) berlaku adil dan berbuat kebajikan.” (QS. An-Nahl: 90) (Lihat Syarah al-Arba’in an-Nawawiyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal 158)

Al-‘Inayah secara etimologi berarti: perhatian yang sangat terhadap sesuatu, atau suatu hal penting yang diperhatikan. Jadi maksud dari “maa laa ya’niih” adalah sesuatu yang tidak bermanfaat bagi pemerhatinya dan tidak ada maslahat baginya (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh,  hal: 78)

Sesuatu yang tidak bermanfaat bagi seorang muslim, bisa berbentuk perkataan bisa juga berbentuk perbuatan. Jadi setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada manfaatnya baik itu untuk kepentingan ukhrawi seorang muslim ataupun untuk kepentingan duniawinya, seharusnya dia tinggalkan agar keislamannya menjadi baik (Lihat: Syarh al-Arba’in Haditsan an-Nawawiyah, oleh Imam Nawawi hal: 40)

* Bagaimana kita bisa mengetahui apakah sesuatu itu termasuk bermanfaat bagi kita atau tidak? Apakah standar dan patokan yang kita gunakan untuk menentukan suatu perbuatan itu termasuk bermanfaat bagi seorang muslim atau tidak?

Ketahuilah bahwa standar yang harus kita gunakan dalam masalah ini adalah syariat dan bukan hawa nafsu, prasangka ataupun yang semisalnya. Mengapa? Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan “meninggalkan suatu hal yang tidak bermanfaat” sebagai tanda dari kebaikan keislaman seseorang. Ini menunjukkan bahwa patokan yang harus  kita gunakan dalam menilai bermanfaat tidaknya suatu perbuatan adalah syariat Islam bukan tampilan zhohir atau yang lainnya.

 Hal ini perlu ditekankan karena banyak orang yang salah paham dalam memahami hadits ini, sehingga dia meninggalkan hal-hal yang diwajibkan syariat atau disunahkan, dengan alasan bahwa hal-hal itu tidak bermanfaat baginya (Qawa’id wa Fawaid min al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Nadzim Sulthan, hal: 123, dan Bahjah an- Nadzirin Syarh Riyadh ash-Shalihin, oleh Salim al-Hilaly I/142). Insya Allah di akhir penjelasan hadits akan kita bawakan contoh dari kesalahpahaman tersebut.

- contoh hal-hal yang tidak bermanfaat bagi seorang muslim, antara lain:

1. Maksiat atau hal-hal yang diharamkan oleh Allah ta’ala. Dan ini hukumnya wajib untuk ditinggalkan oleh setiap manusia (Bahjah al-Qulub al-Abrar wa Qurrat ‘Uyun al-Akhbar fi Syarh Jawami’ al-Akhbar, oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy, hal: 137). Karena dia bukan hanya tidak bermanfaat, tapi juga membahayakan diri sendiri, baik di dunia maupun di akhirat.

Di antara bahaya yang ditimbulkan maksiat di dunia adalah: mengerasnya hati dan menghitam, hingga cahaya yang ada di dalamnya padam. Akibatnya, dia pun menjadi buta jadi tidak bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil (Lihat: Badai’ at-Tafsir al-Jami’ li Tafsiri Ibn al-Qayyim, oleh Yusri as-Sayyid Muhammad, V/153-155, dan Taisir al-Karim ar-Rahman fi Tafsir Kalam al-Mannan, oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy, hal 916). Akibat buruk ini telah dijelaskan oleh Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam,

« إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا أَخْطَأَ خَطِيْئَةً نُكْتَتُ فِي قَلْبِهِ نُكْتَةً سَوْدَاءَ, فَإِنْ هُوَ نَزَعَ وَاسْتَغْفَرَ صَقلَ قَلْبُهُ, وَإِنْ زَادَ زِيْدَ فِيْهَا حَتَّى تَعْلُو قَلْبُهُ وَهُوَ الرَّانُ الَّذِي ذَكَرَ اللهُ كَلاَّ بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوْبِهِمْ مَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ.»

“Jika seorang hamba berbuat sebuah dosa, maka akan ditorehkan sebuah noktah hitam di dalam hatinya. Tapi jika ia meninggalkannya dan beristigfar niscaya hatinya akan dibersihkan dari noktah hitam itu. Sebaliknya jika ia terus berbuat dosa, noktah-noktah hitam akan terus bertambah hingga menutup hatinya.

 Itulah dinding penutup yang Allah sebutkan dalam ayat (Sekali-kali tidak demikian, sebenarnya apa yang selalu mereka kerjakan itu menutup hati mereka)” (QS.al-Muthaffifin: 14) (HR Tirmidzi dan Ibn Majah serta dihasankan oleh Syaikh Al Albani). Adapun di akhirat, maka orang yang gemar berbuat maksiat, diancam oleh Allah untuk dimasukkan ke dalam neraka, na’udzubillah min dzalik.

2. Hal-hal yang dimakruhkan dalam agama kita, juga berlebih-lebihan dalam mengerjakan hal-hal yang diperbolehkan agama, yang sama sekali tidak mengandung manfaat, malah justru terkadang menghalangi seseorang dari berbuat amal kebajikan (Bahjah al-Qulub al-Abrar, hal: 137, lihat pula: Syarh al-Arbain oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal: 80).

 Di antara yang harus mendapat porsi terbesar dari perhatian kita adalah masalah lisan. Imam an-Nawawi menasihatkan, “Ketahuilah, seyogianya setiap muslim berusaha untuk selalu menjaga lisannya dari segala macam bentuk ucapan, kecuali ucapan yang mengandung maslahat. Jikalau dalam suatu ucapan, maslahat untuk mengucapkannya dan maslahat untuk meninggalkannya adalah sebanding, maka yang disunnahkan adalah meninggalkan ucapan tersebut.

Sebab perkataan yang diperbolehkan terkadang membawa kepada perkataan yang diharamkan atau yang dimakruhkan. Dan hal itu sering sekali terjadi. Padahal keselamatan (dari hal-hal yang diharamkan atau dimakruhkan) adalah sebuah (mutiara) yang tidak ternilai harganya.” (Riyadh ash-Shalihin, hal: 483)

Pengalaman membuktikan bahwa perkataan yang baik, indah dan yang telah dipertimbangkan secara bijak, atau mencukupkan diri dengan diam, akan mendatangkan kewibawaan dan kedudukan dalam kepribadian seorang muslim. Sebaliknya, banyak bicara dan gemar ikut campur perkara yang tidak bermanfaat, akan menodai kepribadian seorang muslim, mengurangi kewibawaan dan menjatuhkan kedudukannya di mata orang lain (Qawa’id wa Fawaid, hal: 123)

Imam Ibnu Hibban berkata: “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu; adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara.

Sering kali seseorang menyesal di kemudian hari akibat perkataan yang ia ucapkan, sementara diamnya dia tidak akan pernah membawa penyesalan. (Perlu diketahui pula) bahwa menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah daripada mencabut perkataan yang telah terlanjur diucapkan.

Karena biasanya jika seseorang tengah berbicara, maka kata-katanyalah yang akan menguasai dirinya, sebaliknya jika tidak berbicara, maka ia mampu untuk mengontrol kata-katanya (Raudhah al-‘Uqala wa Nuzhah al-Fudhala, hal: 45, dinukil dari Rifqan Ahl as-Sunnah bi Ahl as-Sunnah Menyikapi Fenomena Tahdzir dan Hajr, oleh Syaikh Abdul Muhsin al-‘Abbad hafidzhahullah, hal 31)

Banyak orang meremehkan perkataan-perkataan yang terlepas dari lisannya, serta tidak mempedulikan dampak baik buruknya. Padahal jauh-jauh hari Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan,

« إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ مَا فِيْهَا , يَهْوِي بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدُ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ »

“Seringkali seorang hamba mengucapkan suatu perkataan yang tidak ia pikirkan dampaknya, padahal ternyata perkataan itu akan menjerumuskannya ke neraka yang dalamnya lebih jauh dari jarak timur dengan barat” ( HR. Bukhari, no: 6477, dan Muslim, no: 7407)

Penutup :

- Jangan sekali-kali kita beranggapan bahwa kebenaran atau kebaikan itu diukur dari tampilan zhohir seseorang, terlebih lagi jika standar mengukur kebaikan dan kebenaran itu pada jumlah mayoritas. Allah Ta'ala berfirman :

وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ ۖ وَإِنْ يَقُولُوا تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ ۖ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُسَنَّدَةٌ ۖ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ ۚ هُمُ الْعَدُوُّ فَاحْذَرْهُمْ ۚ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ ۖ أَنَّىٰ يُؤْفَكُونَ

"Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?" (Qs. Al-Munafiqun : 4)

Ayat ini menunjukan bahwa indahnya kata-kata dan bagusnya penampilan bukanlah patokan dalam menilai kebenaran.

- Janganlah sekali-kali kita menilai kebenaran dari jumlah mayoritas. Allah Ta'ala berfirman :

 وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ

"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)". (Qs. Al-An'am : 116)

- Banyaknya harta dan kekayaan bukanlah ukuran dalam menilai kebenaran. Allah Ta'ala berfirman :

وَمَا أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ بِالَّتِي تُقَرِّبُكُمْ عِنْدَنَا زُلْفَىٰ إِلَّا مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُولَٰئِكَ لَهُمْ جَزَاءُ الضِّعْفِ بِمَا عَمِلُوا وَهُمْ فِي الْغُرُفَاتِ آمِنُونَ

"Dan sekali-kali bukanlah harta dan bukan (pula) anak-anak kamu yang mendekatkan kamu kepada Kami sedikitpun; tetapi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda disebabkan apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat-tempat yang tinggi (dalam surga)". (Qs. Saba':37)

- Kesalahan sebagian orang yang berpendapat bahwa yang penting hatinya baik walaupun tidak beramal adalah patokan untuk menilai suatu kebaikan ataupun kebenaran. Tentu pendapat ini adalah keliru, sebab rasulullah menyebutkan baiknya hati harus diiringi dengan baiknya amal. Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

إِنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ وَأَعْمَالِكُمْ

"Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah melihat pada hati dan amal kalian." (HR Muslim)

Demikianlah yang dapat dinukilkan pada kajian kali ini.

Wallahu waliyut taufiq

Oleh : Al- Ustadz  Junaid Ibrahim Iha hafizhahullah