بسم الله الرحمن الرحيم
Pada kajian kali ini, kita
memulai dengan menjawab sebuah pertanyaan sederhana secara ringkas, yakni; “Sampai
kapankah orang tua wajib memberi nafkah?”
》JAWAB:
Para ulama berselisih pendapat tentang~ sampai kapan orang tua
wajib memberi nafkah untuk anak-anaknya. Namun pendapat yang kami pandang kuat
dan lebih menentramkan hati insyaAllah adalah pendapat yang mengatakan bahwa;
orang tua wajib memberikan nafkah pada anaknya hingga menikah, jika dia
(anaknya) adalah wanita. Oleh karena setelah pernikahan, Allah Ta'ala
mengalihkan kewajiban nafkah seorang wanita pada suaminya. Allah Ta'ala
berfirman:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ
عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ
نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
"Hendaklah orang yang
mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas
rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang
diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan."
(QS. Ath-Thalaq: 7)
Adapun jika anaknya laki-laki, maka sampai anak tersebut
mencapai usia yang secara urf (kebiasaan) masyarakat sekitar, sudah bisa
mandiri. Sehingga misal di Negara kita, seorang anak barulah bisa mandiri pada
usia kurang lebih 21-25 tahun, maka pada batas itulah orang tua berkewajiban
memberi nafkah atas anak laki-lakinya. Adapun setelahnya, orang tua tidak lagi
berkewajiban memberi nafkah untuknya. Jika sekiranya orang tua masih memberi
sesuatu untuknya, maka pemberian itu adalah kebaikan orang tua untuk anaknya
bukan lagi merupakan suatu kewajiban. ~Wallahu waliyut taufiq~
》RENUNGAN DAN NASIHAT:
🍎Antara Tamak dan Qona'ah.
Betapa hebatnya pengaruh harta terhadap kehidupan anak manusia
sehingga sudah banyak dan sering kita saksikan baik pengaruh yang positif
maupun negatif. Terlebih dalam urusan rumah tangga, ternyata harta merupakan
masalah yang sensitif. Mungkin kita banyak jumapai pasangan yang bertengkar
hebat gara-gara tempat nasi yang kosong atau lauk di dapur yang seadanya
ataupun ikan yang kurang. Mungkin juga kita pernah jumpai ada pasangan yang
berpisah gara-gara nafkah yang kurang, itulah sekelumit gambaran permasalahan
yang mencerminkan keadaan masyarakat kita. Hingga akhirnya ada pepatah yang
mengatakan "ada uang abang kusayang, tiada uang abang kutendang"
Lantas, apakah maksudnya seorang istri atau anak-anak yang
berada dalam tanggungan suami tidak boleh menuntut hak mereka? Tentu bukan itu
yang dimaksud. Jika mereka memang nyata-nyata ditelantarkan, mereka boleh
menuntut haknya. Hanya saja, terkadang tuntutan tersebut tidak berimbang dengan
apa yang disanggupi oleh seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Disinilah
pemicu munculnya permasalahan, oleh sebab itu masing-masing pihak harus
menyadari keadaannya. Seorang suami tidak boleh bakhil/kikir terhadap
orang-orang yang menjadi tanggungannya (sesuai dengan kesanggupannya) dan juga
seorang istri dan anak-anak harus menyadari kondisi dan keadaan suaminya
sehingga mereka harus memiliki sifat qona'ah jika memang apa yang diberikan itu
adalah merupakan kesanggupan kepala rumah tangga sebatas itu saja. Dengan
demikian insyaAllah kedamaian dan ketenangan dalam sebuah rumah tangga akan
tercapai, sehingga pantaslah jika ungkapan diatas dirubah menjadi "ada
uang abang disayang, tiada uang ku akan selalu qona'ah."
Rasululullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا
وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
"Sungguh amat beruntunglah
seorang yang memeluk Islam dan diberi rezki yang cukup serta qana'ah terhadap
apa yang diberikan Allah." (HR. Muslim)
Namun, jika suaminya adalah orang
yang memiliki kesanggupan namun dia bakhil maka hendaklah dia diingatkan dengan
hadits-hadits berikut:
Imam an-Nasa'i rahimahullah berkata dalam sunannya:
أَخْبَرَنَا يُوسُفُ بْنُ عِيسَى قَالَ
أَنْبَأَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ وَهُوَ ابْنُ زِيَادِ
بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ جَامِعِ بْنِ شَدَّادٍ عَنْ طَارِقٍ الْمُحَارِبِيِّ
قَالَ قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَائِمٌ عَلَى الْمِنْبَرِ يَخْطُبُ النَّاسَ وَهُوَ يَقُولُ يَدُ
الْمُعْطِي الْعُلْيَا وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَأُخْتَكَ
وَأَخَاكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ
“Telah mengabarkan kepada kami
Yusuf bin 'Isa dia berkata; Telah memberitakan kepada kami Al Fadl bin Musa dia
berkata; telah menceritakan kepada kami Yazid bin Ziyad bin Abul Ja'd dari
Jami' bin Syaddad dari Thariq Al Muharibi dia berkata; "Kami sampai di
Madinah dan ternyata Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam berdiri diatas
mimbar berkhutbah dihadapan manusia, beliau bersabda: "Tangan seorang
pemberi adalah diatas, mulailah dengan yang engkau tanggung, ibumu, ayahmu
saudari dan saudaramu, kemudian yang dibawahmu dan yang berada dibawahmu (maksudnya
kerabat lain yang terdekat)."
Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam membolehkan
seorang istri dan anaknya untuk mengambil dari harta suami sebatas keperluan.
Hal ini tersebut dalam hadits berikut:
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:
قَالَتْ هِنْدٌ أُمُّ مُعَاوِيَةَ لِرَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ
فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ سِرًّا قَالَ خُذِي أَنْتِ
وَبَنُوكِ مَا يَكْفِيكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Hindun, ibu dari Mu'awiyah
berkata, kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam; "Sesungguhnya Abu
Sufyan adalah seorang yang kikir. Apakah dibenarkan bila aku mengambil dari
hartanya secara sembunyi-sembunyi?" Maka Beliau bersabda: "Ambillah
buatmu dan anak-anakmu sekedar apa yang patut untuk mencukupi kamu dengan cara
yang ma'ruf". (HR. Bukhari)
Berapakah standar nafkah?
Dalam hadits Hindun radhiyallahu 'anha diatas, dapat kita
ketahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam menegaskan standar wajib
nafkah ada dua, yaitu:
1.Kifayah
Kifayah maknanya, mencukupi kebutuhan. Penerapannya jika makan
maka mengenyangkan (bukan yang mahal dan bergengsi), jika pakaian maka menutupi
aurat dan menutupi tubuh dari panas dan dingin (bukan yang mewah dan mahal),
jika tempat tinggal maka yang dapat melindungi pemiliknya dari panas dan dingin
serta menutupi privasi dan aurat.
Dalam hal ini, berbeda-beda antara tingkat kemampuan manusia
sehingga disesuaikan tanpa memaksakan diri dan berlebihan.
2. Ma'ruf
Maknyanya adalah setara dengan standar masyarakat sekitar sesuai
dengan kemampuan dan reizki yang Allah Ta'ala berikan kepada masing-masing
hamba. Misal dalam hal makanan, jika masyarakat sekitar makan nasi dan lauk
maka selayaknya diberikan makan nasi dan lauk tidak boleh hanya diberikan
singkong dan kerupuk saja meskipun itu bisa mengenyangkan. Jadi dalam hal
nafkah harus memenuhi standar kifayah dan ma'ruf. Tapi semuanya ini, sekali
lagi tetap harus dikembalikan pada kemampuan masing-masing. Tentu sangat
berbeda antara kehidupan orang yang mampu dan tidak mampu, serta antara orang
kaya dan orang miskin, oleh sebab itu dalam hal yang seperti ini juga sangat
dibutuhkan ornamen keluarga dalam hal ini istri dan anak yang memiliki sifat
"QONA'AH"
B. Jangan Tamak Lagi Rakus Dunia
Kecintaan yang berlebihan terhadap harta akan melahirkan sifat
tamak/rakus untuk mengejar dunia dan memilikinya. Harta dalam bahasa arab
dinamakan maal/المال sebab الميل/ kecondongan hati kepadanya. Maksudnya kecenderungan hati ingin
memilikinya. Oleh sebab itu apabila seseorang berlebihan mencintai harta, pasti
dia akan mencurahkan seluruh kecenderungan hatinya kepadanya. Itulah yang
disebut tamak/rakus terhadap dunia. Hal ini karena tabiat nafsu manusia tidak
pernah merasa puas dengan harta dan kemewahan yang dimilikinya, seberapapun
banyaknya, kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta'ala.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:
لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ
لَابْتَغَى ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ
وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ
"Sekiranya anak Adam
memiliki harta sebanyak dua bukit, niscaya ia akan mengharapkan untuk mendapatkan
bukit yang ketiga, dan tidaklah perut anak Adam itu dipenuhi melainkan dengan
tanah, dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat." (HR. Bukhari)
Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar
harta dan mengumpulkannya dengan berbagai cara, sehingga tidak lagi
mengindahkan batasan halal dan haram. Hal inilah yang menjauhkan dari
keberkahan.
Sifat tamak dan rakus inilah yang membuat seseorang enggan
bersedekah dan berinfak. Padahal keduanya merupakan sebab keberkahan nafkah
serta bertambahnya rizki seseorang.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ
وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ
فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ
أَهْلِ النَّارِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ
"Wahai kaum wanita!
Bersedekahlah kamu dan perbanyakkanlah istighfar. Karena, aku melihat kaum
wanitalah yang paling banyak menjadi penghuni Neraka." Seorang wanita yang
pintar di antara mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa kaum wanita
yang paling banyak menjadi penghuni Neraka?" Rasulullah Shallallahu
'alaihi Wa Sallam. bersabda: "Kalian banyak mengutuk(melaknat) dan kufur
terhadap suami (mengingkari pemberian nikmat dari suami)" (HR. Muslim)
Abdullah bin Zubair berkata:
"Aku belum pernah melihat wanita manapun yang lebih dermawan dibandingkan
dengan Aisyah dan Asma'. Hanya saja sikap kedermawanan keduanya berbeda. Aisyah
biasa mengumpulkan harta, dan bila sudah terkumpul banyak, dibagi-bagikan. Sementara
Asma' tidak pernah menyimpan harta sedikitpun untuk esok hari."
C. Zuhud adalah Obat dari Menjadi
Budak Dunia
Sahl bin Sa'd radhiyallahu 'anhu, berkata:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه
وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ
أَحَبَّنِي اَللَّهُ وَأَحَبَّنِي اَلنَّاسُ. فـقَالَ: اِزْهَدْ فِي اَلدُّنْيَا
يُحِبُّكَ اَللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ اَلنَّاسِ يُحِبُّكَ اَلنَّاسُ
"Datang seorang laki-laki
kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam dan berkata: "Tunjukkan kepadaku
suatu perbuatan yang bila aku melakukannya aku disukai Allah dan manusia".
Beliau bersabda: Zuhudlah dari dunia niscaya Allah akan mencintaimu dan
Zuhudlah dari apa yang dimiliki orang niscaya mereka akan mencintaimu."
(HR. Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad hasan)
Mestinya kita zuhud terhadap dunia sebagai benteng dari sifat
tamak lagi rakus terhadap dunai. Zuhud terhadap dunia bukan berarti
meninggalkan dunia sama sekali, juga bukan dengan mengharamkan apa yang
dihalalkan Allah baginya. Tetapi zuhud terhadap dunia adalah tidak merasa
terikat dan bergantung sepenuhnya dengan harta dan bisa mempergunakan harta
yang dimiliki dengan baik sesuai petunjuk syari'at.
Imam Ahmad bin Hambal
rahimahullah ditanya tentang makna zuhud terhadap dunia yang benar, beliau
berkata: "Maknanya adalah tidak panjang angan-angan (dalam harta). Yaitu
seorang yang ketika dia berada di waktu pagi dia berkata, aku khawatir tidak
bisa mencapai waktu sore lagi." (Lihat Jami'ul Ulum wal Hikam, ibnu Rajab
al-Hambali 2/384)
Maksudnya seorang yang zuhud
terhadap harta tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta yang
dimilikinya, sehingga ia menunda-nunda menafkannya, meski untuk sesuatu yang
diridhoi Allah. Namun sebaliknya segera ia pergunakan hartanya untuk hal-hal
yang diridhoi Allah dan tidak akan menyia-nyiakan hartanya. Ia akan berharap
pahala dengan keyakinan bahwa harta yang telah ada di tangannya tidak lebih
bermanfaat dibanding pahala mempergunakannya di jalan-jalan yang diridhoi Allah
Ta'ala.
Majidah Qurasiyah berkata:
"Terbit dan tenggelamnya matahari telah melipat angan-anganku. Tidak
terdengar suara gerakan atau suara kaki yang diletakkan, kecuali akau akan
mengira kematian akan datang sesudahnya."
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: أَخَذَ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِمَنْكِبِي فَقَالَ: ( كُنْ فِي اَلدُّنْيَا
كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ ) وَكَانَ اِبْنُ عُمَرَ يَقُولُ: إِذَا
أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ اَلصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ
اَلْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِسَقَمِك وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ
“Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma
berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam memegang kedua pundakku
dan bersabda: Hiduplah di dunia ini seakan-akan engkau orang asing atau orang
yang sedang lewat. Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Jika engkau memasuki
waktu sore maka janganlah menunggu pagi; dan jika engkau memasuki waktu pagi
janganlah menunggu waktu sore; ambillah kesempatana dari masa sehatmu untuk
masa sakitmu dan dari masa hidupmu untuk matimu." (HR. Bukhari)
Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:
إِنِّي أَرَى مَا لَا تَرَوْنَ وَأَسْمَعُ مَا
لَا تَسْمَعُونَ أَطَّتْ السَّمَاءُ وَحُقَّ لَهَا أَنْ تَئِطَّ مَا فِيهَا
مَوْضِعُ أَرْبَعِ أَصَابِعَ إِلَّا وَمَلَكٌ وَاضِعٌ جَبْهَتَهُ سَاجِدًا لِلَّهِ
وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ
كَثِيرًا وَمَا تَلَذَّذْتُمْ بِالنِّسَاءِ عَلَى الْفُرُشِ وَلَخَرَجْتُمْ إِلَى
الصُّعُدَاتِ تَجْأَرُونَ إِلَى اللَّهِ لَوَدِدْتُ أَنِّي كُنْتُ شَجَرَةً
تُعْضَدُ
"Sesungguhnya aku melihat
yang tidak kalian lihat, mendengar yang tidak kalian dengar, langit merintih
dan layak baginya merintih, tidaklah disana ada tempat untuk empat jari
melainkan ada malaikat yang meletakkan dahinya seraya bersujud kepada Allah,
andai kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan jarang
tertawa dan banyak menangis, niscaya kalian tidak bersenang-senang dengan istri
diatas ranjang dan niscaya kalian keluar menuju tanah datar yang tinggi, kalian
berdoa memohon kepada Allah dengan mengiba-iba, aku ingin seandainya aku
menjadi pohon yang ditebang." (HR. Tirmidzi)
Perhatikanlah !
-Bagaimana para malaikat mahluk yang tidak pernah barmaksiat
kepada Allah senantiasa bersujud dan beribadah kepada Allah dengan tidak pernah
merasa letih, lalu bagaimana dengan dirimu, yang selalu lalai kepada Allah,
sementara engkau merasa aman dan terus tenggelam dalam memburu kehidupan dunia
yang sebentar lagi akan engkau tinggalkan.
- Begitu pula engkau dan diriku, bagaimana bisa kita tertawa
seenaknya dalam kehiduoan dunia ini, tertawa dalam kelalaian kita, tertawa
dalam kelengahan kita, sementara malaikat maut senantia mengintai ? Bagaimana
bisa engkau bersenang-senang sementara rasulullah yang dosa-dosanya telah
diampuni selalu menangis?
Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:
تَعِسَ عَبْدُ اَلدِّينَارِ وَ الدِّرْهَمِ وَ
الْقَطِيفَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ
"Celakalah hamba-hamba dinar
dan dirham dan kain beludru. Jika diberi ia rela dan jika tidak diberi ia tidak
rela." (HR. Bukhari)
Demikianlah yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. Wallahu
Waliyut Taufiq------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar