Selasa, 01 Januari 2019

Antara TAMAK, QONA'AH, dan ZUHUD

بسم الله الرحمن الرحيم

Pada kajian kali ini, kita memulai dengan menjawab sebuah pertanyaan sederhana secara ringkas, yakni; “Sampai kapankah orang tua wajib memberi nafkah?”

JAWAB:
Para ulama berselisih pendapat tentang~ sampai kapan orang tua wajib memberi nafkah untuk anak-anaknya. Namun pendapat yang kami pandang kuat dan lebih menentramkan hati insyaAllah adalah pendapat yang mengatakan bahwa; orang tua wajib memberikan nafkah pada anaknya hingga menikah, jika dia (anaknya) adalah wanita. Oleh karena setelah pernikahan, Allah Ta'ala mengalihkan kewajiban nafkah seorang wanita pada suaminya. Allah Ta'ala berfirman:

لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا

"Hendaklah orang yang mempunyai keluasan memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang terbatas rezekinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani kepada seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang diberikan Allah kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan setelah kesempitan." (QS. Ath-Thalaq: 7)

Adapun jika anaknya laki-laki, maka sampai anak tersebut mencapai usia yang secara urf (kebiasaan) masyarakat sekitar, sudah bisa mandiri. Sehingga misal di Negara kita, seorang anak barulah bisa mandiri pada usia kurang lebih 21-25 tahun, maka pada batas itulah orang tua berkewajiban memberi nafkah atas anak laki-lakinya. Adapun setelahnya, orang tua tidak lagi berkewajiban memberi nafkah untuknya. Jika sekiranya orang tua masih memberi sesuatu untuknya, maka pemberian itu adalah kebaikan orang tua untuk anaknya bukan lagi merupakan suatu kewajiban. ~Wallahu waliyut taufiq~


RENUNGAN DAN NASIHAT:

🍎Antara Tamak dan Qona'ah.

Betapa hebatnya pengaruh harta terhadap kehidupan anak manusia sehingga sudah banyak dan sering kita saksikan baik pengaruh yang positif maupun negatif. Terlebih dalam urusan rumah tangga, ternyata harta merupakan masalah yang sensitif. Mungkin kita banyak jumapai pasangan yang bertengkar hebat gara-gara tempat nasi yang kosong atau lauk di dapur yang seadanya ataupun ikan yang kurang. Mungkin juga kita pernah jumpai ada pasangan yang berpisah gara-gara nafkah yang kurang, itulah sekelumit gambaran permasalahan yang mencerminkan keadaan masyarakat kita. Hingga akhirnya ada pepatah yang mengatakan "ada uang abang kusayang, tiada uang abang kutendang"

Lantas, apakah maksudnya seorang istri atau anak-anak yang berada dalam tanggungan suami tidak boleh menuntut hak mereka? Tentu bukan itu yang dimaksud. Jika mereka memang nyata-nyata ditelantarkan, mereka boleh menuntut haknya. Hanya saja, terkadang tuntutan tersebut tidak berimbang dengan apa yang disanggupi oleh seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Disinilah pemicu munculnya permasalahan, oleh sebab itu masing-masing pihak harus menyadari keadaannya. Seorang suami tidak boleh bakhil/kikir terhadap orang-orang yang menjadi tanggungannya (sesuai dengan kesanggupannya) dan juga seorang istri dan anak-anak harus menyadari kondisi dan keadaan suaminya sehingga mereka harus memiliki sifat qona'ah jika memang apa yang diberikan itu adalah merupakan kesanggupan kepala rumah tangga sebatas itu saja. Dengan demikian insyaAllah kedamaian dan ketenangan dalam sebuah rumah tangga akan tercapai, sehingga pantaslah jika ungkapan diatas dirubah menjadi "ada uang abang disayang, tiada uang ku akan selalu qona'ah."


Rasululullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

"Sungguh amat beruntunglah seorang yang memeluk Islam dan diberi rezki yang cukup serta qana'ah terhadap apa yang diberikan Allah." (HR. Muslim)

Namun, jika suaminya adalah orang yang memiliki kesanggupan namun dia bakhil maka hendaklah dia diingatkan dengan hadits-hadits berikut:

Imam an-Nasa'i rahimahullah berkata dalam sunannya:

أَخْبَرَنَا يُوسُفُ بْنُ عِيسَى قَالَ أَنْبَأَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى قَالَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ وَهُوَ ابْنُ زِيَادِ بْنِ أَبِي الْجَعْدِ عَنْ جَامِعِ بْنِ شَدَّادٍ عَنْ طَارِقٍ الْمُحَارِبِيِّ قَالَ قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَإِذَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَائِمٌ عَلَى الْمِنْبَرِ يَخْطُبُ النَّاسَ وَهُوَ يَقُولُ يَدُ الْمُعْطِي الْعُلْيَا وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ أُمَّكَ وَأَبَاكَ وَأُخْتَكَ وَأَخَاكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ

“Telah mengabarkan kepada kami Yusuf bin 'Isa dia berkata; Telah memberitakan kepada kami Al Fadl bin Musa dia berkata; telah menceritakan kepada kami Yazid bin Ziyad bin Abul Ja'd dari Jami' bin Syaddad dari Thariq Al Muharibi dia berkata; "Kami sampai di Madinah dan ternyata Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam berdiri diatas mimbar berkhutbah dihadapan manusia, beliau bersabda: "Tangan seorang pemberi adalah diatas, mulailah dengan yang engkau tanggung, ibumu, ayahmu saudari dan saudaramu, kemudian yang dibawahmu dan yang berada dibawahmu (maksudnya kerabat lain yang terdekat)."

Bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam membolehkan seorang istri dan anaknya untuk mengambil dari harta suami sebatas keperluan. Hal ini tersebut dalam hadits berikut:

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:

قَالَتْ هِنْدٌ أُمُّ مُعَاوِيَةَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ فَهَلْ عَلَيَّ جُنَاحٌ أَنْ آخُذَ مِنْ مَالِهِ سِرًّا قَالَ خُذِي أَنْتِ وَبَنُوكِ مَا يَكْفِيكِ بِالْمَعْرُوفِ

“Hindun, ibu dari Mu'awiyah berkata, kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam; "Sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir. Apakah dibenarkan bila aku mengambil dari hartanya secara sembunyi-sembunyi?" Maka Beliau bersabda: "Ambillah buatmu dan anak-anakmu sekedar apa yang patut untuk mencukupi kamu dengan cara yang ma'ruf". (HR. Bukhari)

Berapakah standar nafkah?
Dalam hadits Hindun radhiyallahu 'anha diatas, dapat kita ketahui bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam menegaskan standar wajib nafkah ada dua, yaitu:

1.Kifayah
Kifayah maknanya, mencukupi kebutuhan. Penerapannya jika makan maka mengenyangkan (bukan yang mahal dan bergengsi), jika pakaian maka menutupi aurat dan menutupi tubuh dari panas dan dingin (bukan yang mewah dan mahal), jika tempat tinggal maka yang dapat melindungi pemiliknya dari panas dan dingin serta menutupi privasi dan aurat.

Dalam hal ini, berbeda-beda antara tingkat kemampuan manusia sehingga disesuaikan tanpa memaksakan diri dan berlebihan.

2. Ma'ruf
Maknyanya adalah setara dengan standar masyarakat sekitar sesuai dengan kemampuan dan reizki yang Allah Ta'ala berikan kepada masing-masing hamba. Misal dalam hal makanan, jika masyarakat sekitar makan nasi dan lauk maka selayaknya diberikan makan nasi dan lauk tidak boleh hanya diberikan singkong dan kerupuk saja meskipun itu bisa mengenyangkan. Jadi dalam hal nafkah harus memenuhi standar kifayah dan ma'ruf. Tapi semuanya ini, sekali lagi tetap harus dikembalikan pada kemampuan masing-masing. Tentu sangat berbeda antara kehidupan orang yang mampu dan tidak mampu, serta antara orang kaya dan orang miskin, oleh sebab itu dalam hal yang seperti ini juga sangat dibutuhkan ornamen keluarga dalam hal ini istri dan anak yang memiliki sifat "QONA'AH"

B. Jangan Tamak Lagi Rakus Dunia

Kecintaan yang berlebihan terhadap harta akan melahirkan sifat tamak/rakus untuk mengejar dunia dan memilikinya. Harta dalam bahasa arab dinamakan maal/المال sebab الميل/ kecondongan hati kepadanya. Maksudnya kecenderungan hati ingin memilikinya. Oleh sebab itu apabila seseorang berlebihan mencintai harta, pasti dia akan mencurahkan seluruh kecenderungan hatinya kepadanya. Itulah yang disebut tamak/rakus terhadap dunia. Hal ini karena tabiat nafsu manusia tidak pernah merasa puas dengan harta dan kemewahan yang dimilikinya, seberapapun banyaknya, kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta'ala.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:

لَوْ كَانَ لِابْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لَابْتَغَى ثَالِثًا وَلَا يَمْلَأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلَّا التُّرَابُ وَيَتُوبُ اللَّهُ عَلَى مَنْ تَابَ

"Sekiranya anak Adam memiliki harta sebanyak dua bukit, niscaya ia akan mengharapkan untuk mendapatkan bukit yang ketiga, dan tidaklah perut anak Adam itu dipenuhi melainkan dengan tanah, dan Allah menerima taubat siapa saja yang bertaubat." (HR. Bukhari)

Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya dengan berbagai cara, sehingga tidak lagi mengindahkan batasan halal dan haram. Hal inilah yang menjauhkan dari keberkahan.

Sifat tamak dan rakus inilah yang membuat seseorang enggan bersedekah dan berinfak. Padahal keduanya merupakan sebab keberkahan nafkah serta bertambahnya rizki seseorang.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الِاسْتِغْفَارَ فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ

"Wahai kaum wanita! Bersedekahlah kamu dan perbanyakkanlah istighfar. Karena, aku melihat kaum wanitalah yang paling banyak menjadi penghuni Neraka." Seorang wanita yang pintar di antara mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, kenapa kaum wanita yang paling banyak menjadi penghuni Neraka?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam. bersabda: "Kalian banyak mengutuk(melaknat) dan kufur terhadap suami (mengingkari pemberian nikmat dari suami)" (HR. Muslim)
Abdullah bin Zubair berkata: "Aku belum pernah melihat wanita manapun yang lebih dermawan dibandingkan dengan Aisyah dan Asma'. Hanya saja sikap kedermawanan keduanya berbeda. Aisyah biasa mengumpulkan harta, dan bila sudah terkumpul banyak, dibagi-bagikan. Sementara Asma' tidak pernah menyimpan harta sedikitpun untuk esok hari."

C. Zuhud adalah Obat dari Menjadi Budak Dunia

Sahl bin Sa'd radhiyallahu 'anhu, berkata:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! دُلَّنِي عَلَى عَمَلٍ إِذَا عَمِلْتُهُ أَحَبَّنِي اَللَّهُ وَأَحَبَّنِي اَلنَّاسُ. فـقَالَ: اِزْهَدْ فِي اَلدُّنْيَا يُحِبُّكَ اَللَّهُ وَازْهَدْ فِيمَا عِنْدَ اَلنَّاسِ يُحِبُّكَ اَلنَّاسُ

"Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam dan berkata: "Tunjukkan kepadaku suatu perbuatan yang bila aku melakukannya aku disukai Allah dan manusia". Beliau bersabda: Zuhudlah dari dunia niscaya Allah akan mencintaimu dan Zuhudlah dari apa yang dimiliki orang niscaya mereka akan mencintaimu." (HR. Ibnu Majah dan lainnya dengan sanad hasan)

Mestinya kita zuhud terhadap dunia sebagai benteng dari sifat tamak lagi rakus terhadap dunai. Zuhud terhadap dunia bukan berarti meninggalkan dunia sama sekali, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah baginya. Tetapi zuhud terhadap dunia adalah tidak merasa terikat dan bergantung sepenuhnya dengan harta dan bisa mempergunakan harta yang dimiliki dengan baik sesuai petunjuk syari'at.

Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah ditanya tentang makna zuhud terhadap dunia yang benar, beliau berkata: "Maknanya adalah tidak panjang angan-angan (dalam harta). Yaitu seorang yang ketika dia berada di waktu pagi dia berkata, aku khawatir tidak bisa mencapai waktu sore lagi." (Lihat Jami'ul Ulum wal Hikam, ibnu Rajab al-Hambali 2/384)

Maksudnya seorang yang zuhud terhadap harta tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta yang dimilikinya, sehingga ia menunda-nunda menafkannya, meski untuk sesuatu yang diridhoi Allah. Namun sebaliknya segera ia pergunakan hartanya untuk hal-hal yang diridhoi Allah dan tidak akan menyia-nyiakan hartanya. Ia akan berharap pahala dengan keyakinan bahwa harta yang telah ada di tangannya tidak lebih bermanfaat dibanding pahala mempergunakannya di jalan-jalan yang diridhoi Allah Ta'ala.

Majidah Qurasiyah berkata: "Terbit dan tenggelamnya matahari telah melipat angan-anganku. Tidak terdengar suara gerakan atau suara kaki yang diletakkan, kecuali akau akan mengira kematian akan datang sesudahnya."

عَنِ اِبْنِ عُمَرَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: أَخَذَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم بِمَنْكِبِي فَقَالَ: ( كُنْ فِي اَلدُّنْيَا كَأَنَّكَ غَرِيبٌ أَوْ عَابِرُ سَبِيلٍ ) وَكَانَ اِبْنُ عُمَرَ يَقُولُ: إِذَا أَمْسَيْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ اَلصَّبَاحَ وَإِذَا أَصْبَحْتَ فَلَا تَنْتَظِرِ اَلْمَسَاءَ وَخُذْ مِنْ صِحَّتِكَ لِسَقَمِك وَمِنْ حَيَاتِكَ لِمَوْتِكَ

“Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma berkata: "Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam memegang kedua pundakku dan bersabda: Hiduplah di dunia ini seakan-akan engkau orang asing atau orang yang sedang lewat. Ibnu Umar Radliyallaahu 'anhu berkata: Jika engkau memasuki waktu sore maka janganlah menunggu pagi; dan jika engkau memasuki waktu pagi janganlah menunggu waktu sore; ambillah kesempatana dari masa sehatmu untuk masa sakitmu dan dari masa hidupmu untuk matimu." (HR. Bukhari)

Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:

إِنِّي أَرَى مَا لَا تَرَوْنَ وَأَسْمَعُ مَا لَا تَسْمَعُونَ أَطَّتْ السَّمَاءُ وَحُقَّ لَهَا أَنْ تَئِطَّ مَا فِيهَا مَوْضِعُ أَرْبَعِ أَصَابِعَ إِلَّا وَمَلَكٌ وَاضِعٌ جَبْهَتَهُ سَاجِدًا لِلَّهِ وَاللَّهِ لَوْ تَعْلَمُونَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيلًا وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيرًا وَمَا تَلَذَّذْتُمْ بِالنِّسَاءِ عَلَى الْفُرُشِ وَلَخَرَجْتُمْ إِلَى الصُّعُدَاتِ تَجْأَرُونَ إِلَى اللَّهِ لَوَدِدْتُ أَنِّي كُنْتُ شَجَرَةً تُعْضَدُ

"Sesungguhnya aku melihat yang tidak kalian lihat, mendengar yang tidak kalian dengar, langit merintih dan layak baginya merintih, tidaklah disana ada tempat untuk empat jari melainkan ada malaikat yang meletakkan dahinya seraya bersujud kepada Allah, andai kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya kalian akan jarang tertawa dan banyak menangis, niscaya kalian tidak bersenang-senang dengan istri diatas ranjang dan niscaya kalian keluar menuju tanah datar yang tinggi, kalian berdoa memohon kepada Allah dengan mengiba-iba, aku ingin seandainya aku menjadi pohon yang ditebang." (HR. Tirmidzi)

Perhatikanlah !

-Bagaimana para malaikat mahluk yang tidak pernah barmaksiat kepada Allah senantiasa bersujud dan beribadah kepada Allah dengan tidak pernah merasa letih, lalu bagaimana dengan dirimu, yang selalu lalai kepada Allah, sementara engkau merasa aman dan terus tenggelam dalam memburu kehidupan dunia yang sebentar lagi akan engkau tinggalkan.

- Begitu pula engkau dan diriku, bagaimana bisa kita tertawa seenaknya dalam kehiduoan dunia ini, tertawa dalam kelalaian kita, tertawa dalam kelengahan kita, sementara malaikat maut senantia mengintai ? Bagaimana bisa engkau bersenang-senang sementara rasulullah yang dosa-dosanya telah diampuni selalu menangis?

Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wa Sallam bersabda:

تَعِسَ عَبْدُ اَلدِّينَارِ وَ الدِّرْهَمِ وَ الْقَطِيفَةِ إِنْ أُعْطِيَ رَضِيَ وَإِنْ لَمْ يُعْطَ لَمْ يَرْضَ

"Celakalah hamba-hamba dinar dan dirham dan kain beludru. Jika diberi ia rela dan jika tidak diberi ia tidak rela." (HR. Bukhari)

Demikianlah yang dapat kami sampaikan, semoga bermanfaat. Wallahu Waliyut Taufiq------------------

Penulis: Al-Ustadz Junaid Ibrahim Iha hafizahullah